Pages

Kamis, 25 Juni 2009

0 Malam itu di kamar Salma

Ceritanya aku nemuin surat milik Saskia, teman sekamarku waktu aku lagi bersih-bersih kamar. Waktu aku baca, isi surat itu bener-bener bikin aku berkeringat dingin. Surat itu dari Salma, seorang janda muda yang tinggal di rumah induk. Dan isinya, Salma pingin ketemuan sama Saskia dan Salma pingin berhubungan badan dengan Saskia. What? Maksudnya, Saskia lesbian? Gawat! Jadi selama ini aku sekamar dengan lesbi? Tapi kenapa Salma pingin tidur dengan Saskia ya? Apa dia juga lesbi?
"Aku nggak tahan lagi, Sas. Sudah lama hatiku kering, dan aku merindukan pelukan yang hangat dan mesra. Tapi, aku nggak mau ambil resiko. Jadi aku rasa aku mau menuruti tawaranmu. Malam ini rumah induk sepi. Aku tunggu kau di kamarku jam tujuh." Begitu penggalan surat Salma.

Jam tujuh kurang seperempat. Aku sudah siap di kamar Bella, sebelah kamarnya Salma. Beruntung, karena dua hari lalu ketika Bella hendak pulang dia menitipkan kunci kamarnya ke aku. Segera aku cari tempat yang strategis buat ngintip suasana kamar Salma. Pas! Ada lobang angin-angin yang menghubungkan kamar Bella dan kamar Salma. Dan dengan mudah dan jelas aku bisa mengintip ke kamar Salma.

Salma sedang duduk menyisir rambutnya di depan meja rias. Wajah ayunya dihiasi dengan senyum. Matanya yang sayu berkali-kali memandangi jam dinding. Benar juga, nampaknya Salma menanti seseorang. Jam tujuh kurang lima menit. Tok.. tok.. tok..
"Salma.. ini aku, Saskia."
Salma membukakan pintu kamarnya. Nampak Saskia tersenyum manis sambil menyapa,
"Hai!". Busyet! Kayak ngapel ke rumah pacar saja, batinku.

Saskia segera masuk dengan mengunci pintu kamar. Dipandanginya wajah Salma sesaat. Dibelainya wajah halus Salma yang tanpa cacat. Tapi nampaknya Salma sudah tak tahan lagi. Segera diburunya bibir Saskia. Kedua bibir yang sama-sama mengenakan lipstik itu saling melumat dan menghisap. Bisa kubayangkan lidah-lidah mereka yang bertarung mengganas. Tangan-tangan mereka saling meremas dan memeluk kepala pasangannya. Salma menghisap kuat-kuat bibir Saskia, dan Saskiapun membalasnya dengan menggigit bibir atas Salma.

Saskia segera melepaskan daster yang dikenakan Salma, dan kemudian kembali mereka bercumbu. Daster itu meluncur turun meninggalkan tubuh Salma yang kini tinggal berlapis BH dan CD tipis. Begitupun yang dilakukan Salma. Dilepasnya tali kimono Saskia hingga nampak tubuh Saskia yang berbalut lingerin hitam.

"Wah, bagus banget!" seru Salma ketika melihat lingerin yang dikenakan Saskia. Bagus apaan! Menurutku lingerin itu menjijikkan. Warnanya hitam lagi transparan, dan cuman menutup payudara Saskia sampai diujung saja. Hingga kedua gumpalan payudara berukuran 36 itu bagai ingin melompat keluar. Pakai lingerin atau bugil, kayaknya sama saja.

"Aku ingin hanya diriku yang kau puji sayang.. bukan lingerin ini." kata Saskia merajuk.
"Iya deh.." kata Salma kembali memburu bibir seksi Saskia.
Bibir mereka kembali bergumul. Tangan Saskia menyusup masuk ke balik CD Salma. Perlahan-lahan diremasnya kedua pantat kenyal Salma.
"Aah.." desis Salma keenakan.
Saskia semakin ganas meraba-raba Salma hingga kemudian melepaskan pengait BH Salma. Penutup dada Salma itu mengendor lalu terjatuh. Ciuman Saskia turun ke leher dan dada Salma. Tak disia-siakannya setiap inchi dada Salma yang mungil. Dicumbuinya penuh nafsu hingga ke perut lalu berhenti sebentar di pusarnya dan kemudian naik lagi hingga kembali ke bibir Salma. Diperlakukan seperti itu Salma mendesis-desis penuh birahi,
"Sass.. ashh..ehmm..".

Saskia mendorong Salma terlentang di atas kasur dan menindihnya. Ciuman Saskia kembali menurun hingga ke dada Salma. Diciuminya kedua bongkahan gunung kembar Salma yang sudah menegang. Putingnya berwarna kecoklatan menantang. Tanpa malu ladi dimasukkannya salah satu puting itu ke dalam mulutnya.

"Uagghh.. Sas.. ahh.. terus.. say.." gumam Salma meremas rambut Saskia yang cepak.
Saskia meremas-remas buah dada yang baru saja dikulumnya itu. Dan sekali-kali diplintirnya putingnya hingga membuat Salma bergelinjangan. Dan kemudian dihisapnya kuat-kuat. Sedang telapak tangan kirinya menekan kemaluan Salma yang masih dilapisi oleh CD.
"Saskiaa.." teriak Salma menghentak-hentak keasyikan.

"Hmm.. ehm.." gumam Saskia keenakan. Tak dipedulikannya erangan Salma. Kedua bukit kembar Salma digarapnya bergantian. Dikenyot-kenyotnya payudara Salma yang sudah bengkak benar bagai bayi yang amat kehausan. Salma yang sudah lama tak merasakan kenikmatan itu bagai menikmatinya dengan sepenuh hati.

Kupalingkan muka sejenak, karena tak tahan dengan libidoku sendiri yang mulai terbakar. Keringat dingin yang menetes di dahiku. Tapi aku segera kembali mengikuti permainan itu, nggak ingin rasanya tertinggal sedetik saja.

Saskia segera merosot satu-satunya CD yang melekat di tubuh Salma yang terlentang di ranjang hingga janda muda itu bagai bayi yang baru terlahir. Kemudian Saskia berdiri di hadapan Salma yang mengerang pasrah.
"It's show time." kata Saskia.

Salma terdiam memandangi Saskia yang mulai melucuti lingerinnya. Kain tipis itu meluncur turun meninggalkan tubuh Saskia yang bugil total. Nampaklah dada Saskia yang membusung bengkak menggemaskan, juga bukit kemaluannya yang licin tanpa bulu. Saskia mulai meremas-remas buah dadanya sendiri, membangkitkan gairah Salma hingga pada titik puncaknya. Diremasnya kedua payudaranya dengan gerakan memutar hingga kedua gunung kembar itu bergoyang-goyang menantang. Dan bagai iklan sabun Saskia membelai tubuhnya sendiri, dari dada.. perut.. hingga kemaluannya yang gundul. Tubuhnya meliuk-liuk lalu menungging membelakangi Salma dan memamerkan kesekalan bokongnya kemudian menyibak lorong kecil yang merah merekah. Nampak liang kawin Saskia yang berlumuran lendir putih kental. Saskia memasukkan jemari telunjuknya ke dalam liang kawin itu. "Aagh.." desah Saskia pelan. Lalu ditariknya telunjuk yang telah basah itu. Kemudian dijilatnya dengan mata sayu menatap Salma. Oh, Batara Kala.. jangankan Salma, akupun merasa terbakar gairah.

Salma segera memburu Saskia. Dalam keadaan berdiri diterkamnya kedua payudara Saskia secara bergantian sedangkan tangannya mengerayangi setiap lekuk kemaluan Saskia yang telah basah betul. "Sall.. ough.." desah Saskia sambil mendekap kepala Salma erat. Dengan buas Salma melakukan pembalasan atas semua lumatan Saskia.
"Aaagghh.." pekik Saskia ketika Salma menghisap puting payudaranya sekuat tenaga.

Saskia berkelojotan ambruk di kasur. Salma menindihnya dan terus melumat buah dada Saskia yang bagai mau meledak. Kedua kaki Saskia menyilang bagai mengunci tubuh Salma. Jemari Salma kembali beroperasi di sekitar kemaluan Saskia.
"Sal.. ayo.. masukkan Sal.. aghh.." ujar Saskia sambil mengacung-acungkan sebatang dildo kepada Salma. Salma mengerti apa yang Saskia mau. Maka Salmapun segera memasukkan dildo itu perlahan-lahan pada lubang kawin Saskia.

"Ee.. eghh.. ehh.." Saskia mengedan sebentar lalu, krak! nampaknya selaput dara Saskia semakin sobek saking kerasnya sodokan Salma.
"Aagh.. brengsek..!" pekik Saskia ketika Salma menghunjamkan dildo itu seluruhnya ke dalam lubang kawin Saskia. Agak sakit mungkin, karena sebelumnya Saskia selalu melakukannya dengan perlahan-lahan dan tidak sepenuh itu. Tapi sodokan yang keras dan cepat itu memberikan kenikmatan yang belum pernah Saskia rasakan.

"Tenanglah Sas.. nanti pasti enak.." kata Salma sembari menggoyang-goyangkan batang dildo yang tinggal dua senti itu. Dan benar saja, tubuh Saskia terguncang-guncang nikmat. Peluh membanjir di seluruh tubuhnya yang terkulai lemas. Kelincahan tangan-tangan Salma yang menggoyang tubuhnya sambil terus meremas-remas payudaranya membuat Saskia tak tahan lagi.
"Sal.. aku keluar nih.. eghh.." Saskia mengedan sebentar lalu terkapar lemas.

Salma segera menarik dildo dari lubang kawin Saskia. Dildo itu berlumuran cairan kawin Saskia yang membanjir. Salma berbaring di samping Saskia dengan wajah kecewa.
"Makasih ya, Sal. Aku puas banget." kata Saskia
"Sas, kamu curang. Aku kan belum selesai." ujar Salma kesal.
"Iya, tunggu sebentar say.. biar aku pulihkan tenaga." jawab Saskia membelai wajah Salma.

Salma hanya diam, tapi roman mukanya kurang sedap. Karena merasa tak enak hati, maka Saskia kembali membelai-belai payudara Salma. Salma memandang Saskia degan mata sayu, kemudian di belainya kemaluan Saskia yang masih basah.
"Hik.. kik.." Saskia mengikik kegelian sedang Salma tersenyum-senyum menikmati rasa dingin yang menyiram tubuhnya yang ditimbulkan dari gelitikan jemari Saskia di kedua puting susunya. Saskia meraih batang dildo yang tergeletak tak jauh darinya lalu menyodorkannya ke wajah Salma.
"Ayo jilatlah sayang.." bisik Saskia.

Walaupun sedikit jijik, Salma menuruti keinginan Saskia. Dijilatinya ujung dildo yang masih basah oleh lendir kawin Saskia itu. Pikiran Salma melayang pada Bas, mantan suaminya. Maka dengan ganas dijilatinya ujung dildo itu bagaikan menjilati penis Bas yang luar biasa besarnya. Walaupun belum pernah melakukannya sebelumnya, tapi nampaknya Salma sangat menikmatinya. Apalagi jemari Saskia mengutak-atik isi kemaluannya. Menyusuri lorong sempit di antara rimbunan belantara dan menyentil-nyentil daging kecil yang tumbuh diantara goanya.

"Ough.. Saskii.." Salma menumbruk Saskia dengan liar. Namun Saskia lebih cepat membantingnya, hingga posisinya kembali berada di bawah kendali Saskia. Saskia segera mengambil posisi 69.
"Ayo Sall.. kamu makan bagianmu, dan aku makan bagianku yach.."
Terhampar di depan Saskia sebidang hutan nan lebat yang telah basah dan becek. Jemari Saskia ikut membantu menyibak belukar basah itu. Lidahnya menjulur melintasi semak belukar hingga masuk ke mulut goa. Lidah itu menyusuri goa itu hingga kemudian menjilati ujung daging kecil yang tersembul merah dan kenyal. Dihisapnya hingga daging kecil itu mengembang hingga membuat Salma yang sibuk dengan vagina Saskia mendengking tertahan,
"Achh.. ehmm.. eennaakk.."

Tak tahan dengan rangsangan Saskia yang begitu dasyat, Salma menggigit-gigit kecil vagina mayora Saskia. Saskia pun mendengking perlahan,
"Ough.. Sal.. sakit.."
Dan secara bersamaan tubuh keduanya menegang dan..
"Uachg..!" Suurr.. lendir-lendir kenikmatan mereka mengalir dengan deras. Salma merintih dalam nikmat. Lalu keduanya saling menjilat seluruh cairan kental itu hingga tandas. Rasa nikmat yang tercipta seakan ikut terasa olehku. Akupun merasa ada cairan basah yang menetes dari kemaluanku.

"Saski.. ayo masukkan penisnya.. sebelum aku keluar.." perintah Salma. Saskiapun segera meraih dildo dan membenamkannya ke dalam lubang kawin Salma. Namun lubang kawin Salma tak selebar milik Saskia, hingga Saskia harus perlahan-lahan menyodokkannya.
"Engh.. terus Sass.." pekik Salma yang terdiam menikmati sodokan Saskia.
Perlahan batang dildo itu amblas dimakan oleh lubang kawin Salma. Janda itu menangis merasakan kenikmatan yang lama tak terasakan itu. Saskia bangkit dan segera mengocok dildo yang bersarang di lubang kawin Salma. Gerakannya yang ritmis membuat Salma terantuk-antuk. Ranjang itu berdecit-decit seakan bersorak atas rasa puas yang dirasakan oleh Salma. Dan untuk kedua kalinya Salma mengalami orgasme yang nikmatnya tiada tara.

Aku berpaling dan menjauh dari lubang pengintipanku itu ketika Salma menangis bahagia. Dan Saskia memeluknya mesra seraya berkata, "Salma, mulai sekarang akulah milikmu. Kau tak sendiri lagi karena aku akan selalu sayang padamu. Maukah kau menjadi kekasihku, Salma?" Dan Salma pun menangis di pelukan Saskia.

Kubasuh peluh yang mengalir di keningku dan juga airmata yang membasah di pipiku. Akupun segera meningalkan kamar Bella. Malam itu di kamar Salma, aku mendapati pengalaman yang tak mungkin terlupakan.

Tamat

0 Jenny wanita mafia - 1

Salam kenal, beberapa waktu lalu, seorang kawan mereferensikan pada saya untuk mengunjungi website RumahSeks ini, dan setelah membaca-baca, saya ingin mencoba berbagi cerita. Nama saya, sebut saja Ivon, saya tinggal dan bekerja di London, Inggris, di bagian administrasi sebuah perusahaan trading. Waktu itu, saya berusia 28 tahun, tinggi/berat 164 cm/41 kg, dan bentuk badan saya biasa saja, cenderung agak langsing dan tidak bertonjolan di dada dan pinggul.

Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim panas selama lebih kurang 2 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan senyum manis dan jawaban pendek "You too!" di sela-sela kesibukan saya menghadap ke layar monitor.

Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut saja namanya Pak Smith. Agak lama kemudian, saya mendengar ribut-ribut di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak lagi.

Saya merasa agak takut dan mengintip dari jendela ke arah jalanan di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih uang keamanan. Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal yang diluar perikemanusiaan.

Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Smith sedang menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas Italia, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada seseorang lagi bersama dua orang centeng itu. Seorang wanita berkebangsaan Asia yang kurus tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia cantik di balik kaca mata biru yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Smith sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan menakutkan.

"Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruanganmu!" tiba-tiba Pak Smith memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
"Berikan langsung pada mereka!" ujar Pak Smith yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, dan si wanita Asia langsung menyambarnya dari tangan saya.

Entah kenapa, tapi wanita itu tidak segera mengalihkan pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya. Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur perlahan.

"Jangan mundur!" bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
"Lihat ke arah saya!" bentaknya lagi, masih dengan bahasa Inggris beraksen British yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, "Ivon. Hmm, Indonesian name, isn't it?" tanyanya lagi, dengan nada datar.
"Y-Yes, It is." jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau-kalau ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
"Kalau gitu, diskon sepuluh pound deh!" ujar wanita Asia itu, benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.

Wanita itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, "Maaf Ivon, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri."
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak pergi. Pak Smith dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Sejenak sebelum menutup pintu, si wanita sempat melirik ke arah saya dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang saya tidak pernah mengerti.

Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Paris bersama keluarga saya selama seminggu, lalu kembali ke London untuk menghabiskan sisa liburan di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.

Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Indonesia mengunjungi museum Madame Tussaud. Usai melihat-lihat patung lilin di museum itu, tante dan om saya naik kereta kembali ke hotel mereka, sementara saya masih berjalan-jalan di Bakerstreet (tempat museum tadi berada), karena banyak teman asal Indoneisa yang menginap di apartemen-apartemen sekitar situ.

Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar, saya merasa ada yang berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia mencolek bahu saya, "Hi Ivon, lupa sama saya ya?" sapanya dengan bahasa Indonesia.
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Wanita Asia yang kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi lengan saya.
"Hey, jangan kabur dong!" ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe pinggir jalan.

Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia ditemani dua orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.

Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan. Maklum, di negeri orang, siapapun yang sebangsa dengan kita akan menjadi sahabat yang sangat baik, siapapun dia.

Namanya, sebut saja Jenny. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke Inggris untuk menyelesaikan S2-nya, juga tentang keterlibatannya dengan para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Inggris. Ia bercita-cita untuk pulang ke Indonesia, dan bekerja memanfaatkan gelar MBA-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal pengalaman dan manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang begitu 'hitam' dan berbahaya itu.

"Kamu nggak punya boyfriend kan?" tebak Jenny di sela obrolan.
"Kok kamu tahu?" tanya saya balik.
"Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar?" katanya sambil tertawa kecil.

Saya tersipu malu, menyadari bahwa 'tongkrongan' saya memang terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda dengan Jenny yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal takut atau malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dengan sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang 'putri mafia' (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.

Tanpa terasa hari mulai malam, dan Jenny mengajak saya meninggalkan kafe. Karena apartemen saya agak jauh, ia menyarankan saya untuk tinggal di apartemennya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang saya belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah kumuh, dan daerah pusat hiburan malam. Benar-benar sisi lain dari London yang tidak pernah saya lihat, meski saya sudah menetap disini selama 3 tahun.

"Nggak usah takut, Von." katanya sambil melangkah cepat, "Kita aman di daerah sini."
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba. Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak tahu namanya itu. Namun Jenny berjalan dengan cuek, sambil sesekali menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang macam apa sebenarnya teman saya ini.

Akhirnya kami sampai di apartemennya. Sebuah apartemen yang dari luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya, semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga ponsel (yang pada tahun itu belum begitu populer). Satu hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping ponselnya.

Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Jenny menanggalkan celana panjang dan raincoat-nya. Sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ. Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah sudah sangat akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang ramping dan cukup jangkung untuk ukuran Indo, sangat menarik. Saya kira tidak akan ada pria ataupun wanita yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat berada di tempat umum.

"Ngeliatin apa, Von?" tanyanya membuat saya tersipu.
"Ngeliatin badan kamu." jawab saya mencoba untuk tidak malu, "Bagus banget."
"Hihihi." ia tertawa kecil, "Kamu juga sexy kok."
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Apalagi setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil menyunggingkan senyum aneh.

Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.

"Mana gelasnya?" bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
"Kamu manis sekali, Von." bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus tujuh.
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.

Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Jenny adalah seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk sesama wanita. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, "Jangan takut, Von. Nikmati saja."
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.

Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya yang terletak di bagian belakang, sampai punggung saya benar-benar terbuka di hadapannya. Dengan lembut juga ia melepaskan kaitan BH di punggung saya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung saya. Hangat dan lembut.
"Punggung kamu halus sekali, Von." bisiknya, "Pasti kamu rawat dengan baik, ya? Hmm?"
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus dan panjang sebahu, disibakkannya ke samping, lalu lagi-lagi ia memuji saya, "Tengkuk kamu bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?"
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah sekalipun berpacaran.

Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba ke balik baju saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya membuat perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder dengan tubuh saya yang kurus.

Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya. Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu membuat Jenny makin bersemangat. Ia melucuti baju dan BH saya hingga tubuh bagian atas saya benar-benar telanjang. Ia menyuruh saya berdiri dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.

Bersambung . . . .

0 Jenny wanita mafia - 2

Di bawah sinar lampu yang terang benderang, saya berdiri setengah telanjang di hadapan seorang wanita yang baru saja saya kenal tadi siang. Wanita mafia pula! Namun entah kenapa, saya menikmati permainannya, saya menikmati tatapannya yang lekat ke sekujur tubuh saya. Bola matanya tampak tajam menatap dua buah dada saya. Seharusnya saya merasa malu, namun saya malah menegakkan tubuh, membusungkan dada, hingga Jenny bebas menikmati keindahan dua susu saya yang berwarna lebih terang dibandingkan tubuh saya yang sawomatang, lengkap dengan dua putingnya yang coklat tua.

Jenny terbaring miring di ranjangnya dengan pose yang amat merangsang. Garis pinggulnya tampak begitu indah, pahanya yang mulus dan putih bersih begitu panjang dan menggoda. Kaosnya oblongnya agak tersingkap ke atas, membuat perutnya yang indah mengintip nakal. Celana dalam yang dipakainya pun hitam transparan menunjukkan rambut-rambut halus di selangkangannya. Matanya meredup dan bibir basahnya berbisik agar saya kembali naik ke ranjang.

"Kamu cantik sekali Von." bisiknya lagi saat saya menelentangkan diri di ranjang.
"Kamu juga, Jen." saya sudah mulai berani menjawab.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, lalu mulut-mulut kami berciuman dengan mesra. Saat itulah saya pertama kali berciuman, merasakan lidahnya masuk ke mulut saya, menjilat dan menghisap-hisap bibir bawah saya, mm, nyaman sekali.

Bibirnya lalu melepaskan bibir saya dan beranjak menuruni rahang dan leher saya. Lidahnya yang hangat berputar-putar di pangkal susu saya, membuat saya kegelian. Tangan saya membelai-belai rambutnya yang lurus dan pendek seleher. Entah kenapa, tapi saya merasakan hal yang berbeda. Saya merasa dikagumi, diperhatikan, dan dicintai. Sebuah perasaan yang tidak pernah saya dapatkan dari siapapun kecuali orang tua saya. Namun kali ini rasanya benar-benar lain.

"Von, susu kamu indah sekali." bisiknya dengan suara setengah merintih.
"Ciumin dong Jen." pinta saya tidak sabar.
"Haa, kamu udah pengen ya?" godanya.
"Kok tau sih?" jawab saya kembali menggoda.
"Pentil kamu udah tegang gini." jawabnya cuek sambil menatap ke dua puting susu saya.
Saya mengangkat kepala untuk melihat ke susu saya, dan benar, kedua puting ini tampak berdiri meruncing. Saya tersipu malu. Namun Jenny segera menangkap puting susu saya dengan mulutnya.

"Engghh.." saya langsung mengerang sambil menggelinjang ketika puting susu saya dihisapnya.
Saya mendongakkan kepala, merem melek dan mengerang-ngerang. Aduhh, puting susu saya rasanya begitu nikmat. Saya tidak tahu apa yang Jenny lakukan, namun kedua puting saya tidak henti merasakan belaian lembut dan hisapan-hisapan halus. Rasa nikmatnya mengalir ke seluruh badan sampai rasanya seperti lemas dan pasrah padanya. Ohh, benar-benar mabuk kepayang. Betapa tidak, rasanya nikmaat sekali. (Mengetikkan cerita ini saja membuat dua puting susu saya terangsang lagi mengingat rasanya).

Entah berapa lama Jenny memainkan susu saya, tapi rasanya seperti bertahun-tahun terperangkap dalam rasa nikmat. Sampai-sampai vagina saya terasa gatal dan mengeluarkan cairannya. Padahal hanya susu saya saja yang dimainkannya. Aduhh, Jenny benar-benar mengerti bagaimana menaklukkan seorang wanita innocent seperti saya ini. Ia terus mengulum, menjilat, dan menghisap, dan entah ngapain lagi di kedua puting saya ini, yang jelas saya begitu menikmatinya. Sampai saya mencengkeram tengkuknya agar mulutnya tidak lari dari puting saya. Mata saya 'kiar-kier' menahan nikmat, mulut saya terus mengerang-ngerang keenakan.

"Uhh, Ohh.. Ahh.. Jennyy.. Aduhh.. enaknyaa.. Ohh.."
Jenny seperti tidak perduli, ia terus saja membuat kedua puting ini merasakan rangsangan luar biasa. Badan saya menggelinjang-gelinjang hebat, punggung saya terangkat-angkat dari ranjang karena tidak kuat menahan enaknya permainan ini. Tiba-tiba Jenny berhenti. Saya terengah-engah lemas, dua susu saya terasa menyesak dan berat.
"Von.. Oi, buka mata kamu, Von..!" ujar Jenny sambil masih memilin-milin puting saya.
Saya membuka mata dan susah payah mengangkat kepala melihat ke arah dada saya. Astaga! Puting-puting saya yang selama ini coklat tua, kini jadi berwarna merah daging, dan begitu besar. Tidak pernah saya melihat puting saya sendiri berdiri begitu tingginya. Dua susu saya pun terasa agak membengkak.

"Ohh, Jenny.. kamu apain susuku..?" desah saya naif.
"Belum pernah ya?" bisiknya menggoda, "Tapi enak kan?"
Saya mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum. Tangan saya meraih susunya dari balik kaos, tapi ia menepiskannya.
"Eits, mau balas dendam ya? Nggak boleh!" godanya nakal.
God, saya merasa jatuh cinta padanya, pada kenakalannya, pada kedewasaannya.

Tanpa banyak bicara, Jenny lalu melucuti celana dan celana dalam saya. Sudah tidak ada lagi rasa takut, malu, atau risih di hadapannya, malah saya merasa tidak sabar menanti permainan berikutnya. Dilemparkannya celana panjang saya jauh-jauh. Lalu ia menciumi paha saya.
"Wow, paha kamu halus banget! Aku jadi iri!" ujarnya sambil menciumi.
Saya agak malu, karena paha dan kakinya jelas-jelas lebih panjang dan lebih indah.
"Kangkangin dong, aku pengen lihat lebih jauh!" katanya lagi.
Saya mengangkangkan paha saya lebar-lebar, membiarkannya melihat jelas-jelas kemaluan saya. Saya agak heran melihatnya menggeleng-gelengkan wajah cantiknya sambil menatap kemaluan saya.

"Kenapa, Jen?" tanya saya ragu.
"Aghh.." saya terhenyak sedikit ketika ia mencolek kemaluan saya.
"Lihat nih!" Jenny menunjukkan jarinya yang dibasahi oleh lendir kental bening, banyak sekali, "Kamu udah terangsang banget ya, Von?"
"Gimana nggak terangsang?" tanya saya balik, "Abis kamu gituin sih."
Jenny tersenyum sekilas, lalu membenamkan wajahnya di selangkangan saya. Dan saat itulah saya merasakan hal terindah dalam hidup saya.

"Ngghh.. Jennyy.." saya memekik keras menyebutkan namanya saat Jenny mulai menggerakkan lidah dan bibirnya di kemaluan saya.
Ohh, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah sana, tapi rasanya sungguh nikmat. Saya terhentak-hentak merasakannya, wajah saya meringis keenakan, menggeliat-geliat untuk menahan rasa nikmat yang luar biasa ini. Saya seperti bingung, berusaha meraih dan mencengkeram apapun yang dapat saya raih, sprei, bantal, tiang ranjang, apapun. Sementara mulut Jenny di bawah sana mengeluarkan bunyi berkecipak.

Kemaluan saya terasa seperti digosok keras-keras oleh benda lunak dan lembab, enak sekali. Tiap gesekannya terasa nyetrum ke seluruh badan ini. Kepala saya terangkat-angkat dari ranjang, paha saya menghimpit kepala Jenny. Tiak lama kemudian, Jenny memasukkan jarinya ke lubang kemaluan saya. Uhh, pada saat yang sama, saya mencapai klimaks kenikmatan.
"Aduhh Jennyy.. Oughh.." serasa ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, begitu deras dan nikmat.
Saya sampai meremas sendiri dua susu saya untuk menambah kenikmatan, hingga semuanya sempurna. Lalu saya merasa lemas sekali. Terkulai dan terengah-engah kelelahan. Saya memejamkan mata, menikmati sisa-sisa orgasme pertama yang saya rasakan. Terasa Jenny meninggalkan ranjang, mengecup kening saya, lalu saya tertidur di tengah kenikmatan maha dahsyat ini.

Pagi berikutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang begitu nikmat. Badan terasa segar dan nyaman, meski kedua kaki saya terasa agak pegal. Saya bangkit duduk, dan cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi badan telanjang saya. Betapa tidak, di ruangan itu, Jenny tidak sendiri bersama saya. Wanita itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria berwajah Italia. Bukan salah satu dari centengnya kemarin, tapi seorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang rapih.

"Wah, pacarmu sudah bangun rupanya." ujar si pria Italia saat melihat saya terjaga.
"Ya, dan itu berarti waktumu untuk pergi." jawab Jenny dengan dialek British yang amat sempurna.
"Oke, aku pergi." jawab pria Italia itu sambil tersenyum.
"Hey, suatu saat aku ingin bertukar tempat denganmu!" seru pria itu sambil menatap ke arah saya dengan senyuman ramah.
"Kalau aku mau, nanti malam juga bisa!" canda Jenny sambil menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.

Aku agak tertegun setengah marah mengetahui Jenny membiarkan orang lain masuk ruangan saat aku masih tertidur dalam kondisi telanjang bulat. Namun aku seperti tidak tega mengutarakan perasaan itu. Aku melihat Jenny membawa nampan berisi sarapan pagi ke dekat ranjang dan mempersilakanku makan. Aku menurut saja, karena memang permainan semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bersandar di dinding sambil melihatku makan.

Pagi itu ia tampak segar dan cantik. Rambutnya yang pendek seleher diikat ke belakang hingga tengkuknya yang jenjang terlihat begitu indah. Ia mengenakan kaos T-Shirt hijau tua dan celana pendek putih, memamerkan kaki-kakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan tatapan bahagia. Sejujurnya, aku amat terharu dengan sikap manisnya padaku.

"Von.." ujarnya lirih.
"Kenapa, Jen?"
"Maaf ya, semalam aku kurang ajar sama kamu." sambungnya, "Maaf juga soalnya aku biarin temanku tadi masuk."
"Nggak apa-apa Jen." jawab saya berusaha maklum, "Semalam itu.. indah sekali."
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, dan bersahabat. Namun.., hanya itu. Senyuman seorang sahabat, bukannya senyuman mesra seorang kekasih. Melihat senyumnya, saya merasa agak patah hati juga, karena sudah merasa jatuh cinta kepadanya. Saya terdiam, dan tanpa sadar air mata mengalir di pipi saya.

"Aku tahu apa yang ada di hati kamu, Von." ujar Jenny membaca situasi.
"Tapi aku juga ngerti, kamu nggak mungkin bisa hidup bareng aku." lanjutnya lagi.
Ia lalu melangkah menghampiri saya dan mengangkat nampan sarapan pagi dari pangkuan saya. Setelah meletakkan nampan itu di meja, ia kembali naik ke ranjang di sisi saya.
"Aku sayang sama kamu, kok!" ujarnya sambil mengecup kening saya, "Itu sebabnya aku nggak ingin kamu terlibat jauh di hidupku."
Saya memeluknya erat-erat, tanpa tahu harus berkata apa pada seorang yang baru saja 'memerawani' saya ini.
"Kamu ngerti maksudku kan?" tanyanya lagi dengan penuh harap.

Semula saya merasa sedih. Saya benar-benar ingin melewatkan hidup saya bersamanya terus. Tidak pernah ada orang yang membuat saya merasa begitu aman, tenang, nyaman, dan membuat saya merasa begitu dicintai dan dikagumi. Hanya dia, Jenny, yang memberikan semuanya pada saya. Namun saya melihat sekeliling, lemari pakaiannya kebetulan terbuka, memamerkan gaun-gaunnya yang mahal dan berwarna warni, sederet sepatu yang menjadi impian tiap wanita, laptop dan ponsel yang menunjukkan tingkat kemapanan hidupnya, lalu.. ah.. pistol keperakan itu.

Bagaimana saya dapat hidup damai dan bermesraan dengan seorang yang berkeliaran di lorong-lorong gelap London dengan menenteng pistol kemana-mana? Yang bergaul dengan preman-preman dan penjahat? Yang dengan entengnya mengobrak-abrik kantor atau toko seseorang karena telat membayar tagihan? Semuanya berkecamuk dalam otak saya.

Namun, hey. Ivon sekarang sudah dewasa! Pikir saya. Sekarang saya lebih percaya diri, dan sadar bahwa hidup ini indah dan tidak menakutkan. Mungkin saya bisa setegar Jenny, atau lebih dari dia? Mungkin juga saya dapat menemukan peluang lain yang membuat hidup saya lebih berarti daripada sekedar karyawan admin di sebuah perusahaan kecil? Rasa cinta dan kagum bercampur dengan haru dan terimakasih berkecamuk di dada saya. Namun saya juga sadar, jika saya harus melanjutkan kehidupan saya tanpa Jenny.

"Hey, cool dong!" hiburnya, "Kita bisa ketemu lagi kapan-kapan kalau kamu mau. Saat liburan kayak gini kan bisa juga?"
Saya mencoba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan nakal juga. Iseng-iseng saya meraih dan meremas susunya yang kanan, sambil menjentik-jentik putingnya dari balik bajunya. Jenny menatap saya. Pelan-pelan matanya meredup, lalu setengah memejam. Saya melepaskan susunya dari tangan saya.
"Kok berhenti?" tanyanya sambil kembali membuka mata.
"Emang boleh?" tanya saya.
"Kenapa enggak?" tanya Jenny balik sambil melucuti pakaiannya sendiri.

Jenny segera telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah sekali tubuhnya, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Kakinya panjang indah, begitupula lehernya. Wajahnya amat cantik, berkesan cerdas namun dingin. Kedua buah susunya tidak besar, namun kencang dan indah. Puting-putingnya berwarna merah jambu kecoklatan, dan tampak agak terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di sisi ranjang, wajah saya tepat menghadap ke dua putingnya. Tanpa banyak basa-basi, saya mendekap pinggangnya, dan mengisap puting susunya. Mmm.., puting susu hangat itu terasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisap-hisap.

Terdengar rintih erangan Jenny setiap kali lidah saya menyentuh puting itu. Terasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut saya. Kami berbagi kehangatan dengan sangat mesra pagi itu, dan kejadian itu sempat terulang beberapa kali lagi di hari-hari setelahnya, sampai kemudian saya mendapati apartemennya kosong dan teleponnya tidak diangkat. Ia benar-benar telah pergi jauh dari kehidupan saya. Mungkinkah ia telah mencapai cita-citanya? Mungkinkah ia sudah berada 2 meter di bawah tanah? Saya tidak tahu. Saya tetap akan mengenangnya, karena dia adalah yang pertama bagi saya.

Tamat

0 Jude guru privateku

Memiliki rupa yang cantik tidak selamanya menguntungkan. Memang banyak lelaki yang tertarik, atau mungkin hanya sekedar melirik. Ada kalanya wajah menentukan dalam mendapatkan posisi di suatu pekerjaan. Atau bahkan wajah dapat dikomersiilkan pula.

Tapi aku tidak pernah mengharapkan wajah yang cantik seperti yang kumiliki saat ini. Aku juga tidak pernah menghendaki tinggi badan 163 centimeter dengan berat 52 kilogram. Tidak juga kulit putih merona dengan dada ukuran 36B. Tidak! Sungguh, semua itu justru membawa bencana bagiku.

Bagaimana tidak bencana. Karena postur tubuh dan wajah yang bisa dinilai delapan, aku beberapa kali mengalami percobaan pemerkosaan. Paling awal ketika aku masih duduk di bangku esempe kelas tiga. Aku hampir saja diperkosa oleh salah seorang murid laki-laki di toilet. Murid laki-laki yang ternyata seorang alkoholik itu kemudian dikeluarkan secara tidak hormat dari sekolah. Tapi akupun akhirnya pindah sekolah karena masih trauma.

Di sekolah yang baru pun aku tak bisa tenang karena salah seorang satpamnya sering menjahilin aku. Kadang menggoda-goda, bahkan pernah sampai menyingkap rokku ke atas dari belakang. Sampai pada puncaknya, aku digiring ke gudang sekolah dengan alasan dipanggil oleh salah seorang guru. Untung saja waktu itu seorang temanku tahu gelagat tak beres yang tampak dari si Satpam brengsek itu. Ia dan beberapa teman lain segera memanggil guru-guru ketika aku sudah mulai terpojok. Aku selamat dan satpam itu meringkuk sebulan di sel pengap.

Dua kali menjadi korban percobaan pemerkosaan, orang tuaku segera mengadakan upacara ruwatan. Walaupun papa mamaku bukan orang Jawa tulen (Tionghoa), tapi mereka percaya bahwa upacara ruwatan bisa menolak bahaya.

Selama dua tahun aku baik-baik saja. Tak ada lagi kejadian percobaan pemerkosaan atas diriku. Hanya kalau colak-colek sih memang masih sering terjadi, tapi selama masih sopan tak apalah. Tapi ketika aku duduk di bangku kelas tiga esemu. Kejadian itu terulang lagi. Teman sekelasku mengajakku berdugem ria ke diskotik. Aku pikir tak apalah sekali-kali, biar nggak kuper. Ini kan Jakarta, pikirku saat itu. Aku memang tak ikut minum-minum yang berbau alkohol, tapi aku tak tahu kalau jus jeruk yang aku pesan telah dimasuki obat tidur oleh temanku itu. Waktu dia menyeretku ke mobilnya aku masih sedikit ingat. Waktu dia memaksa menciumku aku juga masih ingat. Lalu dengan segala kekuatan yang tersisa aku berusaha berontak dan menjerit-jerit minta tolong. Aku kembali beruntung karena suara teriakanku terdengar oleh security diskotik yang kemudian datang menolongku.

Sejak itu aku merasa tak betah tinggal di Jakarta. Akhirnya aku segera dipindahkan ke Yogyakarta, tinggal bersama keluarga tanteku sambil terus melanjutkan sekolah. Awalnya ketenangan mulai mendatangiku. Hidupku berjalan secara wajar lurus teratur. Tanpa ada gangguan yang berarti, apalagi gangguan kejiwaan tentang trauma perkosaan. Aku sibuk sekolah dan juga ikutan les privat bahasa Inggris.

Tapi memasuki bulan kelima peristiwa itu benar-benar terjadi. Aku benar-benar diperkosa. Dan yang lebih kelewat batas. Bukannya lelaki yang memperkosaku, tapi wanita. Yah, aku diperkosa lesbian!! Dan lebih menyakitkan, yang melakukannya adalah guru privatku sendiri. Namanya Jude Kofl. Umurnya 25 tahun, tujuh tahun diatasku. Ia orang Wales yang sudah tujuh tahun menetap di Indonesia. Jadi Jude, begitu aku memanggilnya, cukup fasih berbahasa Indonesia. Jude tinggal tak sampai satu kilometer dari tempatku tinggal. Aku cukup berjalan kaki jika ingin ke rumah kontrakannya.

Kejadian itu bermula pada saat aku datang untuk les privat ke tempat Jude. Kadangkala aku memang datang ke tempat Jude kalau aku bosan belajar di rumahku sendiri, itupun kami lakukan dengan janjian dulu. Sebelum kejadian itu aku tidak pernah berpikiran macam-macam ataupun curiga kepada Jude. Sama sekali tidak! Memang pernah aku menangkap basah Jude yang memandangi dadaku lekat-lekat, pernah juga dia menepuk pantatku. Tapi aku kira itu hanya sekedar iseng saja.

Siang itu aku pergi ke tempat Jude. Ditengah jalan tiba-tiba hujan menyerang bumi. Aku yang tak bawa payung berlari-lari menembus hujan. Deras sekali hujan itu sampai-sampai aku benar-benar basah kuyup. Sampai di rumah Jude dia sudah menyongsong kedatanganku. Heran aku karena Jude masih mengenakan daster tipis tak bermotif alias polos. Sehingga apa yang tersimpan di balik daster itu terlihat cukup membayang. Lebih heran lagi karena Jude menyongsongku sampai ikut berhujan-hujan.

"Aduh Mel, kehujanan yah? Sampai basah begini.." sambutnya dengan dialek Britishnya.
"Jude, kenapa kamu juga ikut-ikutan hujan-hujanan sih, jadi sama-sama basah kan."
"Nggak apa-apa nanti saya temani you sama-sama mengeringkan badan."

Kami masuk lewat pintu garasi. Jude mengunci pintu garasi, aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Bahkan ketika aku diajaknya ke kamar mandinya, aku juga tak punya rasa curiga. Kamar mandi itu cukup luas dengan perabotan yang mahal, walau tak semahal milik tanteku. Di depanku nampak cermin lebar dan besar sehingga tubuh setiap orang yang bercermin kelihatan utuh.

"Ini handuknya, buka saja pakaian you. Aku ambilkan baju kering, nanti you masuk angin."
Jude keluar untuk mengambil baju kering. Aku segera melepas semua pakaianku, kecuali CD dan BH lalu memasukkannya ke tempat pakaian kotor di sudut ruangan.

"Ini pakaiannya,"
Aku terperanjat. Jude menyerahkan baju kering itu tapi tubuh Jude sama sekali tak memakai selembar kain pun. Aku tak berani menutup muka karena takut Jude tersinggung. Tapi aku juga tak berani menatap payudara Jude yang besar banget. Kira-kira sebesar semangka dan nampak ranum banget, tanda ingin segera dipetik. Berani taruhan, milik Jude nggak kalah sama milik si superstar Pamela Anderson.

"Lho kenapa tidak you lepas semuanya?" tanya Jude tanpa peduli akan rasa heranku.
"Jude, kenapa kamu nggak pakai baju kayak gitu sih?"
Jude hanya tersenyum nakal sambil sekali-sekali memandang ke arah dadaku yang terpantul di cermin. Kemudian Jude melangkah ke arahku. Aku jadi was-was, tapi aku takut. Aku kembali teringat pada peristiwa percobaan pemerkosaanku.

Jude berdiri tegak di belakangku dengan senyum mengembang di bibir tipisnya. Jemarinya yang lentik mulai meraba-raba mengerayangi pundakku.
"Jude! Apa-apaan sih, geli tahu!"
Aku menepis tangannya yang mulai menjalar ke depan. Tapi secepat kilat Jude menempelkan pistol di leherku. Aku kaget banget, tak percaya Jude akan melakukan itu kepadaku.

"Jude, jangan main-main!" aku mulai terisak ketakutan.
"It's gun, Mel and I tak sedang main-main. Aku ingin you nurut saja sama aku punya mau." Ujar Jade mendesis-desis di telinga Jade.
"Maumu apa Jude?"
"Aku mau sama ini.. ini juga ha..ha.."
"Auh.."

Seketika aku menjerit ketika Jude menyambar payudaraku kemudian meremas kemaluanku dengan kanan kirinya. Tahulah aku kalau sebenarnya Jude itu sakit, pikirannya nggak waras khususnya jiwa sex-nya. Buah dadaku masih terasa sakit karena disambar jemari Jude. Aku harus berusaha menenangkan Jude.
"Jude ingat dong, aku ini Melinda. Please, lepaskan aku.."
"Oh.. baby, aku bergairah sekali sama you.. oh.. ikut saja mau aku, yah.." Jude mendesah-desah sambil menggosok-gosokkan kewanitaannya di pantatku. Sedangkan buah dadanya sudah sejak tadi menempel hangat di punggungku. Matanya menyipit menahan gelegak birahinya.

"Jude, jangan dong, jangan aku.."
Muka Jude merah padam, matanya seketika terbelalak marah. Nampaknya ia mulai tersinggung atas penolakanku. Ujung pistol itu makin melekat di dekat urat-urat leherku.

"You can choose, play with me or.. you dead!"
Aah.. Dadaku serasa sesak. Aku tak bisa bernafas, apalagi berfikir tenang. Tak kusangka ternyata Jude orang yang berbahaya.
"Okey, okey Jude, do what do you want. Tapi tolong, jangan sakiti aku please.." rintihku membuat Jude tertawa penuh kemenangan.

Wajah wanita yang sebenarnya mirip dengan Victoria Beckham itu semakin nampak cantik ketika kulit pipinya merah merona. Jude meletakkan pistolnya di atas meja. Kemudian dia mulai menggerayangiku.

Jude mulai mencumbui pundakku. Merinding tubuhku ketika merasakan nafasnya menyembur hangat di sekitar leherku, apalagi tangannya menjalar mengusap-usap perutku. Udara dingin karena CD dan BHku yang basah membuatku semakin merinding.

Jemari Jade yang semula merambat di sekitar perut kini naik dan semakin naik. Dia singkapkan begitu saja BHku hingga kedua bukit kembarku itu lolos begitu saja dari kain tipis itu. Setiap sentuhan Jade tanpa sadar aku resapi, jiwaku goyah ketika jari-jari haus itu mengusap-usap dengan lembut. Aku tak tahu kalau saat itu Jade tersenyum menang ketika melihatku menikmati setiap sentuhannya dengan mata tertutup.

"Ah.. ehg.. gimana baby sweety, asyik?" kata Jude sambil meremas-remas kedua buah dadaku.
"Engh.." hanya itu yang bisa aku jawab. Deburan birahiku mulai terpancing.
"Engh.." aku mendongak-dongak ketika kedua puting susuku diplintir oleh Jude "Juude..ohh.."

Aku tak tahan lagi kakiku yang sejak tadi lemas kini tak bisa menyangga tubuhku. Akupun terjatuh ke lantai kamar mandi yang dingin. Jude langsung saja menubrukku setelah sebelumnya melucuti BH dan CDku. Kini kami sama-sama telah telanjang bagai bayi yang baru lahir.

"You cantik banget Mel, ehgh.." Jude melumat bibirku dengan binal.
"Balaslah Mel, hisaplah bibirku."
Aku balas menghisapnya, balas menggigit-gigit kecil bibir Jude. Terasa enak dan berbau wangi. Jude menuntun tanganku agar menyentuh buah dadanya yang verry verry montok. Dengan sedikit gemetar aku memegang buah dadanya lalu meremas-remasnya.

"Ah.. ugh.. Mel, oh.." Jude mendesis merasakan kenikmatan remasan tanganku. Begitupun aku, meletup-letup gairahku ketika Jude kembali meremas dan memelintir kedua bukit kembarku.
"Teruslah Mel, terus .."
Lalu Jude melepaskan ciumannya dari bibirku.
"Agh.. Oh.. Juude.."
Aku terpekik ketika ternyata Jude mengalihkan cumbuannya pada buah dadaku secara bergantian. Buah dadaku rasanya mau meledak.
"Ehg.. No!!" teriakku ketika jemari Jude menelusuri daerah kewanitaanku yang berbulu lebat.
"Come on Girl, enjoy this game. Ini masih pemanasan honey.."

Pemanasan dia bilang? Lendir vaginaku sudah mengucur deras dia bilang masih pemanasan. Rasanya sudah capek, tapi aku tak berani menolak. Aku hanya bisa pasrah menjadi pemuas nafsu sakit Jude. Walau aku akui kalau game ini melambungkan jiwaku ke awang-awang.

Jude merebahkan diri sambil merenggangkan kedua pahanya. Bukit kemaluannya nampak jelas di pangkal paha. Plontos licin. Lalu Jude memintaku untuk mencumbui vaginanya. Mulanya aku jijik, tapi karena Jude mendorong kepalaku masuk ke selakangannya akupun segera menciumi kewanitaan Jude. Aroma wangi menyebar di sekitar goa itu. Lama kelamaan aku menciuminya penuh nafsu, bahkan makin lama aku makin berani menjilatinya. Juga mempermainkan klitnya yang mungil dan mengemaskan.
"Ahh.. uegh.." teriak Jude sedikit mengejan.
Lalu beberapa kali goa itu menyemburkan lendir berbau harum.
"Mel, hisap Mel.. please.." rengek Jude.
Sroop.. tandas sudah aku hisap lendir asin itu.
Suur.. kini ganti vaginaku yang kembali menyemburkan lendir kawin.
"Jude aku keluar.." ujarku kepada Jude.
"Oya?" Jude segera mendorongku merebah di lantai. Lalu kepalanya segela menyusup ke sela-sela selakanganku.

Gadis bule itu menjilati lendir-lendir yang berserakan di berbagai belantara yang tumbuh di goa milikku. Aku bergelinjangan menahan segala keindahan yang ada. Jude pandai sekali memainkan lidahnya. Menyusuri dinding-dinding vaginaku yang masih perawan.
"Aaah.." kugigit bibirku kuat kuat ketika Jude menghisap klit-ku, lendir kawinkupun kembali menyembur dan dengan penuh nafsu Jude menghisapinya kembali.
"Mmm.. delicious taste." Gumamnya.
Jude segera memasukkan batang dildo yang aku tak tahu dari mana asalnya ke dalam lubang kawinku.

"Ahh..!! Jude sakit.."
"Tahan sweety.. nanti juga enak.."

Jude terus saja memaksakan dildo itu masuk ke vaginaku. Walaupun perih sekali akhirnya dildo itu terbenam juga ke dalam vaginaku. Jude menggoyang-goyangkan batang dildo itu seirama. Antara perih dan nikmat yang aku rasakan. Jude semakin keras mengocok-ngocok batang dildo itu. Tiba-tiba tubuhku mengejang, nafasku bagai hilang. Dan sekali lagi lendir vaginaku keluar tapi kali ini disertai dengan darah. Setelah itu tubuhku pun melemas.

Air mataku meleleh, aku yakin perawanku telah hilang. Aku sudah tak pedulikan lagi sekelilingku. Sayup-sayup masih kudengar suara erangan Jude yang masih memuaskan dirinya sendiri. Aku sudah lelah, lelah lahir batin. Hingga akhirnya yang kutemui hanya ruang gelap.

Esoknya aku terbangun diatas rajang besi yang asing bagiku. Disampingku selembar surat tergeletak dan beberapa lembar seratus ribuan. Ternyata Jude meninggalkannya sebelum pergi. Dia tulis dalam suratnya permintaan maafnya atas kejadian kemarin sore. Dan dia tulis juga bahwa dia takkan pernah kembali untuk menggangguku lagi. Aku pergi dari rumah kontrakan terkutuk itu seraya bertekad akan memendam petaka itu sendiri.

Tamat

0 Kenapa aku jadi begini, Roy?

Di salah satu sudut Jakarta Utara, di pojokan jalan sekitar Pasar Ular, di satu rumah yang agak lumayan besar, Reni sedang asyik tiduran di kursi sambil membaca majalah. Ibu rumah tangga tanpa anak ini sengaja memakai pakaian minim untuk mengurangi gerahnya Tanjung Priuk saat itu. Perempuan 34 tahun itu hanya mengenakan BH dan celana hawaii saja sebagai pembungkus tubuh sintal putih mulusnya.

"Yanti! Bawakan minuman dingin kesini!" teriak Reni kepada pembantu rumah tangganya.
"Iya, nyonya!" terdengar jawaban Yanti.

Tak lama Yanti datang dengan membawa minuman dingin di atas baki.

"Ini, nyonya," katanya sambil meletakkan minuman tersebut di atas meja sambil berjongkok di lantai.
"Ya, terima kasih," ujar Reni sambil melirik Yanti.

Pembantu rumah tangga berusia 41 tahun itu berpenampilan biasa saja. Dengan status janda, wajahnya bisa dibilang standar wajah orang kebanyakan, tidak jelek tidak cantik. Hanya saja tubuhnya yang berperawakan sedang dihiasi oleh sepasang buah dada yang sedang mekar ranum, serta pantat yang bulat padat.

"Ada yang lainnya lagi, nyonya?" tanya Yanti sambil matanya melirik pada tubuh mulus majikannya.
"Tidak ada.." jawab Reni pendek.
"Mungkin nyonya pegal-pegal.. Bisa saya pijitin," kata Yanti menawarkan jasanya.
"Apa pekerjaan dapur sudah kamu selesaikan?" tanya Reni sambil menatap Yanti.
"Sudah dari tadi, nyonya.." jawab Yanti.
"Ya baiklah.. Pijitin aku deh," kata Reni.
"Di tengah rumah saja deh, sambil lihat TV.." kata Reni sambil bangkit lalu menuju tengah rumah.

Lalu Reni berbaring di atas karpet di depan TV.

"Saya bawakan bantal dan hand body dulu, nyonya," kata Yanti.

Tak lama Yanti sudah datang membawa bantal dan hand body.

"Pakai bantal, nyonya.. Biar nyaman.." kata Yanti sambil menyerahkan bantal kepada reni.
"Boleh saya buka tali BH-nya, nyonya?" tanya Yanti.
"Ya bukalah kalau mengganggu," kata Reni sambil tengkurap dan memejamkan matanya.

Dengan segera Yanti melepas pengait BH Reni. Setelah diolesi hand body, tangan Yanti mulai memijat dan menelusuri punggung mulus Reni.

"Mm.. Enak sekali.. Pinter juga mijat ya?" kata Reni sambil terpejam.
"Tidak juga, nyonya.." kata Yanti.
"Boleh saya naik ke atas tubuh nyonya? Biar saya gampang mijitnya.." tanya Yanti.
"Terserah kamulah.." kata Reni ringan.

Yanti segera menaiki tubuh Reni. Selangkangannya tepat agak menduduki pantat Reni yang bulat padat. Sementara tangannya memijat punggung Reni, Yanti dengan hati-hati sering menyentuh dan mendesakkan selangkangannya ke pantat Reni. Ada kenikmatan tersendiri yang dirasakan Yanti saat itu. Dengan sengaja, sambil memijat, jari-jari tangan Yanti disentuhkan dan diusapkan ke buah dada Reni dari samping badannya. Yanti semakin bergairah karenanya. Apalagi Reni diam saja diperlakukan demikian karena Reni pikir itu adalah bagian dari cara pemijatan.

"Maaf nyonya.." kata Yanti sambil turun dari pantat Reni.
"Apa..?" kata Reni sambil tetap memejamkan matanya.
"Apakah nyonya ingin dipijat seluruh badan atau hanya punggung dan kaki saja?" tanya Yanti sambil menatap sebagian buah dada Reni yang menyembul dari samping badannya.
"Kalau kamu tidak merasa capek, ya seluruh badanlah.." kata Reni sambil membuka matanya dan melirik ke Yanti.
"Kalau begitu, maaf nyonya.." kata Yanti seperti ragu.
"Sebaiknya nyonya melepas celana pendeknya agar saya mudah memijat seluruh badan nyonya.." lanjut Yanti.
"Maaf nyonya.." kata Yanti lagi.
"Ya terserah apa kata kamu deh.. Lagian kita sama-sama wanita, kenapa harus malu.." kata Reni sambil bangkit lalu melepas celana hawaiinya.

Saat itulah darah Yanti berdesir hebat ketika melihat buah dada Reni yang padat menantang. Apalagi ketika reni sudah melepas celana hawaiinya, celana dalama mini yang dipakai Reni tidak bisa menutupi semua bulu kemaluan yang agak lebat. Jantung Yanti berdebar disertai gairah sex yang makin meninggi. Reni lalu tengkurap lagi tanpa berpikir macam-macam.. Tangan Yanti mulai menyusuri dan memijat betis Reni. Lama-lama naik ke paha. Yanti sangat menikmati rabaan dan pijatannya pada kaki Reni tersebut. Nafasnya menjadi agak memburu dan berat karena desakan gairahnya melihat tubuh mulus majikannya terbaring hanya memakai celana dalam mini saja. Mendekati pangkal paha, tangan Yanti dengan pura-pura tidak disengaja disentuhkan ke selangkangan dan memek Reni yang agak menggembung.

"Geli, ihh.." kata Reni sambil menggerakkan pantatnya.

Yanti tersenyum. Melihat Reni tidak marah, tangannya mulai memijat pantat Reni. Sebetulnya tidak cocok kalau disebut memijat, labih pantas kalau disebut meremas. Melihat Reni masih diam, secara perlahan tangannya disusupkan ke celana dalam Reni, lalu dengan perlahan diremasnya pantat Reni. Reni sebenarnya tahu kalau tangan Yanti masuk ke celana dalam dan meremas pantatnya. Tapi rasa berdesirnya nikmat yang dirasakan ketika tangan Yanti meremas pantatnya membuat Reni diam menikmatinya.

"Mmhh.. Geli.. Mmhh," kata Reni dengan mata tetap terpejam sambil menggoyangkan pantatnya ketika jari tangan Yanti mengusap belahan pantatnya berulang kali. Melihat Reni tetap tidak bereaksi, Yanti makin berani. Jarinya dengan sengaja turun agak di tekan sedikit ke lubang pantat Reni lalu turun ke lubang memek Reni bergantian.

"Mmhh.. Kamu ngapain? Mmhh.." kata Reni sambil membuka matanya lalu melirik ke Yanti.
"Setelah dipijat, paling enak dibeginikan, nyonya.." kata Yanti dengan nafas memburu sambil jarinya sekarang mulai menggosok-gosok belahan memek Reni yang mulai basah.
"Mmhh.." hanya itu suara yang keluar dari mulut Reni sambil merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa.

Tampak Reni agak menggoyangkan pantatnya seiring rasa nikmat yang dirasakannya.

"Kamu ngapainnhh.. Mmhh.." desah Reni sambil membalikkan badannya.

Ada rasa berontak di dalam hati Reni, tapi rasa nikmat dan gairah aneh telah menguasai badannya. Yanti yang melihat Reni membalikkan badannya dengan segera mengelus dan meremas buah dada Reni, sementara lidahnya segera menjilati puting susunya yang satu.

"Mmhh.. Mmhh.." desah Reni sambil mengusap punggung Yanti yang berada diatas tubuhnya.

Setelah beberapa lama lidah dan tangannya memainkan buah dada Reni, Yanti berhenti sesaat. Diperosotkannya celana dalam mini Reni. Reni dengan diam saja diperlakukan demikian oleh pembantunya itu. Yanti bangkit lalu melepas semua pakaiannya. Sementara Reni menatap Yanti dengan mata penuh nafsu.

"Sudah lama saya memimpikan hal seperti ini, nyonya," bisik Yanti sambil melumat bibir Reni.
"Mmhh.." desah Reni menikamti lumatan bibir Yanti, sementara tangan Yanti mengusap-ngusap bulu kemaluan Reni yang lebat lalu dengan segera jarinya keluar masuk lubang memek Reni yang sudah sangat licin.

"Mmhh.." desah Reni.

Ciuman Yanti lalu turun ke pipi kemudian ke leher Reni. Ciuman dan jilatan lidah Yanti benar-benar membuat Reni merasakan darahnya berdesir disertai rasa nikmat karena jari Yanti keluar masuk memeknya.

"Ohh.. Yantiihh.. Enakk.." bisik Reni sambil terpejam, sementara pinggulnya bergoyang karena nikmat. Tak lama lidah Yanti turun ke buah dada. Kembali lidah Yanti dengan ganas melalap habis buah dada dan puting susu Reni.

"Yantiihh.." desah Reni sambil terpejam.

Lidah Yanti makin turun ke perut lalu turun lagi ke bulu-bulu kemaluan Reni. Sementara jari tangannya tetap keluar masuk memek Reni, lidah Yanti mulai merayapi selangkangan Reni. Reni makin menggeliat tubuhnya karena sensasi kenikmatan yang tiada tara.

"Oww.. Ohh.. Ohh.." jerit lirih Reni sambil meremas rambut Yanti ketika lidah Yanti menjilati klitorisnya.

Tubuh Reni mengeliat-geliat disertai desahan-desahan kenikmatan.. Sementara Yanti terus menijlati memek Reni sambil tangan yang satunya mengusap-ngusap memeknya sendiri sambil sesekali jarinya keluar masuk lubangnya.

"Yantiihh!! Ohh!!" jerit tertahan Reni agak keras keluar dari mulut Reni ketika ada semburan hangat terasa di dalam memeknya seiring dengan rasa nikmat luar biasa yang mengiringinya. Serr.. Serr.. Kembali memek Reni menyemburkan air mani ketika dengan ganas Yanti menjilati memeknya. Tubuh Reni menggeliat dan melengkung merasakan nikmat.. Yanti menghentikan jilatannya setelah tubuh Reni lemas. Dinaiki tubuh majikannya lalu mulut yang masih basah oleh cairan memek mengecup bibir Reni. Reni membalas kecupan Yanti.

"Bagaimana rasanya, nyonya?" tanya Yanti sambil meraih tangan Reni dan menyentuhkan ke buah dadanya.
"Mm.. Belum pernah aku merasakan seperti ini.." kata Reni tersenyum sambil mengelus buah dada Yanti.
"Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Reni.

Tangannya mulai meremas buah dada Yanti sambil jarinya memainkan puting susunya.

"Karena saya suka nyonya.. Mmhh," kata Yanti sambil mendesah.

Yanti menggesek-gesekan memeknya ke paha Reni.

"Sudah lama saya ingin bisa seperti ini, tapi selalu takut.." kata Yanti sambil meraih tangan Reni yang sedang meremas buah dadanya lalu mengarahkan memeknya.

Reni yang sudah mulai mengerti dan menyukai hal ini langsung menggosok memek Yanti. Belahan memek Yanti ditelusuri dengan jarinya.

"Ohh.." desah Yanti sambil terpejam.
"Saya mau, nyonya.." bisik Yanti meremas tangan Reni yang sedang memainkan memeknya.
"Mau diapain?" tanya Reni sambil menatap Yanti.

Yanti tidak menjawab. Yanti segera bangkit dari atas tubuh Reni, lalu dikangkanginya wajah Reni. Didekatkan memeknya ke mulut Reni. Reni yang belum terbisa menjilat sesama memek wanita kelihatan agak rikuh. Tercium oleh Reni aroma khas memek. Bau asem merangsang.. Dengan ragu Reni menjulurkan lidahnya menyentuh belahan memek Yanti. Mata Yanti terpejam. Lama kelamaan setelah beberapa jilatan, Reni mulai merasakan ada semacam perasaan tersendiri ketika menjilati memek Yanti. Apalagi ketika terdengar desahan i disertai gerakan memek Yanti ketika lidah Reni menjilati kelentitnya.

"Ohh.. Mmhh," desah Yanti sambil agak mendesakkan memeknya ke mulut Reni.
"Enakk.. Nyonyaa.." desah Yanti sambil jarinya mengusap lubang anusnya berkali-kali.

Setelah menjilat jarinya, sambil memknya dijilat Reni, Yanti mengusap lubang anusnya agak tekan sampai ujung jarinya sebatas kuku masuk ke anus. Sambil menggoyang memeknya, Yanti semakin menekan jarinya dalam-dalam ke anusnya.

"Nikmaatt," jerit lirih Yanti sambil menusuk-nusukan jari ke anusnya sementara pinggulnya terus bergoyang.

Sampai akhirnya Yanti menghentikan gerakan pinggulnya. Didesakan memeknya agak lebih keras ke mulut Reni.. Serr.. Serr.. Yanti orgasme sambil jarinya tetap menusuk-nusuk anusnya.

"Ohh.. Ohh," jerit lirih Yanti. Kemudian tubuhnya lemas berbaring disamping Reni.
"Enak sekali nyonya.." bisik Yanti sambil tersenyum menatap reni.
"Aku baru tahu kalau bercinta sesama wanita ternyata sangat nikmat," kata Reni sambil memakai pakaiannya.

Yanti juga demikian.

"Nyonya marah tidak?" tanya Yanti sambil menatap Reni.
"Aku tidak marah kok. Malah aku jadi suka.." kata Reni sambil tersenyum.
"Aku mau tahu sejak kapan kamu begini?" kata Reni sambil duduk di karpet.

Tangannya menggenggam tangan Yanti mesra.

"Sejak saya bercerai dengan suami saya, nyonya.." jawab Yanti sambil menatap mata Reni.
"Pertama kali saya diperlakukan sama seperti sekarang oleh majikan perempuan saya dulu, nyonya.." kata Yanti lagi.
"Saya terus berhubungan dengan majikan saya sampai saya pindah ke sini karena majikan laki-laki mulai curiga, nyonya.." kata Yanti sambil tertunduk.
"Sejak itulah saya menahan hasrat saya," kata Yanti lagi.
"Mulai sekarang ada aku.." kata Reni sambil tersenyum lalu mengecup bibir Yanti.

Sejak itulah selama beberapa bulan sampai sekarang Reni dan Yanti, majikan dan pembantu, melakukan hubungan sesama jenis tanpa diketahui suaminya. Pada suatu hari Reni dengan niat tertentu mencoba menghubungi salah satu sahabat baik yang sangat dipercayainya.

"Hallo," kata Reni setelah tersambung dengan telepon sahabatnya itu.
"Ya, hallo.. Dengan siapa ya?" tanya suara di telepon.
"Aku Reni, Roy.." kata Reni.
"Oh, kamu.. Ada apa nih telepon aku di kantor gini hari? Tumben.." kata Roy Takeshi, sahabatnya.
"Iya nih, Roy.. Aku tak sabar ingin menceritakan sesuatu tentang aku," kata Reni sambil tersenyum.
"Apa? "Tanya Roy Takeshi.
"Begini Roy.." kata Reni sambil menceritakan kisah hubungan sesama jenisnya agak panjang lebar kepada sahabatnya itu.
"Aku heran.. Kenapa aku jadi begini, Roy?" ujar Reni.
"Aku minta kamu buat cerita tentang aku, Roy.." kata Reni.
"Baru cerita begini saja aku sudah horny, nih.. Apalagi kalau sudah jadi cerita," kata Reni sambil tertawa.

Roy Takeshipun ikut tertawa.

"Ya sudah, kamu email aku saja tentang cerita kamu garis besarnya," kata Roy.
"Nanti aku buat jadi cerita," sambung Roy Takeshi lagi.
"Baiklah.. Sampai nanti ya, Roy. Bye.." kata Reni sambil menutup telepon.

Tamat

0 Gairah sesama jenis - 2

Jemarinya bergerak melepaskan kaitan bra sport di punggungku. Lalu penutup dadaku itu terlepas dan terlempar jauh menyusul kaosku tadi. Ira melepaskan tubuhku yang kini tersandar lemah di dinding kaca yang dingin. Matanya menatap tubuhku yang bagian atasnya telah terbuka. "Sari.. kamu indah sekali.." Aku hanya diam menatapnya dengan sayu. Aku mencoba tersenyum dan menegakkan berdiriku. Ira memegang pinggangku dan menyuruhku berbalik menghadap ke dinding kaca. Karena di halaman lebih gelap daripada di dalam ruangan, aku dapat melihat bayangan tubuhku. Semampai dan ramping. Aku juga melihat bayangan Ira di kaca itu, telanjang dada. Ia berlutut di belakangku, memeluk paha kananku dan menyingkapkan sedikit rok miniku ke atas. Aku terus melihatnya mengagumi dan mengusap-usap tungkai jenjangku yang senantiasa kurawat dengan baik. Diusapnya, dibelainya dengan penuh perasaan. Uh, rasanya geli sekali ketika Ira menjalankan lidahnya di paha sebelah dalamku. Kegelian yang tak tertahankan menyerangku ketika Ira memainkan jari-jari lentiknya pada celana dalamku, menggosok dan mengusap kewanitaanku yang masih terbungkus celana dalam.

Aku menggeliat dan menggelinjang, kakiku terasa sulit menahan berat tubuhku, hingga aku harus tersandar pada dinding kaca lagi. "Ohh.. Mmmbak Iraa.." Rintihku menahan geli dan birahi. Ia segera melepaskan jarinya dari celana dalamku yang kini mulai sedikit lembab. Tangannya mengurut-ngurut betisku, pahaku, dan pinggulku. Lalu ia kembali berdiri dan membalikkan tubuhku kembali menghadapnya. Kami saling pandang sebentar sebelum ia memegang kedua pergelangan tanganku dan menariknya serta memeganginya menempel dinding kaca. Aku terdiam. Kedua tanganku terentang ke samping dan dipeganginya. Kedua payudaraku terpampang membusung ke hadapan Ira, bersentuhan dengan kedua pangkal payudaranya yang juga ramping, kencang dan indah. Ia mendekatkan bibirnya ke dadaku, dan aku dapat melihatnya menjilat-jilat bongkah payudaraku, dibasahinya dengan lidahnya hingga akhirnya mulutnya yang mungil menangkap pentil susuku yang kiri.

"Ahkk.. Mbak Iraa.." Ia menjilat-jilat kecil, menghisap lembut, dan menggigit-gigit kecil pada pentilku bergantian yang kiri dan kanan. Membuatku meringis menahan geli yang luar biasa. Gempuran rasa geli dan birahi yang amat sangat. Aku tak mampu lagi terdiam, nafasku serasa tersengal-sengal, aku tak mampu menggerakkan kedua tanganku yang dicengkeramnya erat-erat di dinding kaca. Di sela perbuatannya, ia bertanya,
"Gimana rasanya Sari sayang?"
"Ngg.. Mmbak.. ggelii sekali.. mmhh.."
"Merintihlah, Sayang, mengeranglah, aku pengen dengar suara kamu."
Lalu Ira semakin liar menjilat dan melumat-lumat puting-puting susuku yang kini telah memerah dan mengacung tinggi. Aku merasa lemas dan sulit bernafas karena serbuan birahi yang sudah tak mampu lagi aku tahan-tahan.
"Merintihlah, Sari.."
"Aduhh.. Mmbaakk.. offhh.."
"Gimana rasanya, sayang?"
Ia meracau terus menyuruhku merintihkan kegelianku sambil terus saja menjilat, melumat, dan mengulum-ngulum kedua putingku yang semakin terasa geli dan sedikit ngilu karena sudah begitu tegang namun terus dilumatnya. "Ohh.. enaakk sekali Mbakk.."

Tangannya kini melepaskan tanganku, dan kembali menyerang celana dalamku di balik rok miniku yang telah tersingkap ke atas. Disibakkannya celana dalamku ke samping, lalu jemari lentiknya pun dengan bebasnya mengusap dan menggosok kewanitaanku. "Agghh.. Mmmbakk.. Aaaku nggak tahann.." Aku mengerang dan menggeliat tak karuan merasakan kewanitaanku diucek-uceknya hingga terdengar suara seperti berkecipak air. Cairan pelumas telah berleleran cukup banyak dari situ, membasahi celana dalamku, membasahi rambut-rambut kemaluanku. Tak mampu lagi berdiri, aku rebah ke lantai ruang tengah itu. Terlentang menyerahkan tubuhku. Ira segera melucuti semuanya. Hingga tubuhku kini tak lagi tertutupi apa-apa. Begitu juga tubuhnya. Ia membaringkan tubuhnya di sampingku, memelukku erat, dinginnya lantai terasa kontras dengan kehangatan tubuhnya. Wajahnya tampak bersemu merah menahan birahi yang dari tadi ingin dilampiaskannya padaku. Dikulumnya bibirku, dijilatinya leherku. Paha kami saling berkempitan, hingga aku dapat merasakan kelembaban dan basahnya kewanitaan Ira pada pahaku.

Sementara aku kian tak mampu menahan rasa geli yang luar biasa karena pahanya sedang menggosok bibir-bibir kewanitaanku.
"Sar, gerakkan paha kamu, yang.. berikan padaku."
"Ohh.. Mbak.. Mbak Ira cantik sekali.."
"Kamu juga Sari, uhh.."
Paha kami saling menggosok kewanitaan masing-masing, rasanya sangat nikmat. Perasaanku tak karuan lagi, antara rasa nikmat, geli, dan kagum pada keindahan tubuh Ira yang kini menghimpit tubuhku dengan hangatnya. Gerakan kami kian liar, meski posisi itu melelahkan, namun kami tak peduli. Makin cepat kugesekkan pahaku pada kewanitaannya, makin keras pula kurasakan getaran pahanya pada kewanitaanku. Sedikit sakit dan ngilu, namun birahi kami mengalahkan segala rasa sakit.

Dengan gemas ia meremas susuku dengan kencang namun lembut, makin membuatku melayang-layang lupa daratan. Kujilati lehernya yang jenjang sempurna, kugigit. Ia juga melakukan hal yang sama pada pundak dan leherku, jari-jarinya menarik dan memilin-milin pentil susu kananku sementara payudara kiriku berhimpitan dengan payudaranya.
"Ohh.. Ssarii.. aaku hampirr.."
"Aduuh, Mmbakk.. aku juga.."
Kami bergerak semakin cepat, pelukan kami semakin erat. Mataku terpejam, aku seperti mendengar rintihan dan erangan kami memenuhi ruangan, begitu pula aroma kewanitaan kami. Keringat dingin membasahi tubuh telanjang kami, paha kami terus menggesek kewanitaan kami, kenikmatan terasa bergulung-gulung mendekati tubuhku. Aku tak tahu apa yang terjadi, namun tiba-tiba tubuh Ira meregang dahsyat, ia mencengkeram tubuhku erat-erat, gerakannya terhenti. "Sarii.. Aaahhgg.." Gelombang orgasme telah melanda jiwanya, wajahnya tampak sayu dan meringis menahan kenikmatan yang luar biasa, ekspresinya itu memberikan sensasi yang luar biasa padaku, aku seperti teraliri listrik lain, menyengat seluruh tubuhku, aku merasakan otot-otot kemaluanku menegang, tubuhku meregang disengatnya.

Kenikmatan menyambar tubuhku, keras sekali merenggut kesadaranku untuk sesaat. "Aduhh.. Mbakk.. Ohh.." Aku memejamkan mata, menghayati perasaan itu. Nikmatnya terasa melambungkan tubuhku, aku tak lagi sadar bahwa aku sedang merengkuh erat tubuh sahabatku, sesama wanita. Semuanya terasa hangat, panas, mataku agak berkunang-kunang, lalu untuk beberapa saat semuanya gelap. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang bermuara dari kewanitaanku, serta hangatnya tubuh indah Ira yang erat memeluk tubuhku.

Beberapa menit kemudian aku membuka mata. Seluruh tubuhku terasa ngilu dan pegal. Aku terbaring tanpa busana di lantai ruang tengah rumah Ira. Aku mencoba untuk mengangkat kepalaku yang terasa berat, mendudukkan tubuhku. Kakiku terasa kejang dan ngilu. Aku tersandar di dinding kaca. Melihat seluruh ruangan, dan mendapati tubuh Ira, teronggok lunglai di hadapanku. Keindahan tubuh itulah yang baru saja aku hangatkan, dan memberikan kehangatan pada tubuhku. Ira tampak terlelap dalam alam birahinya. Aku mengangkat tubuhku dengan susah payah, kedua tungkai jenjangku mencoba menahan berat tubuhku. Aku melihat bayangan pada dinding kaca. Menatap wajah dan badanku sendiri. Bekas-bekas gigitan berwarna merah kecokelatan tampak pada pundak, leher, dan seputar pentil susuku. Di bawah perutku yang langsing tampak rambut-rambut ikal yang kini seperti keriting karena terkena cairan kenikmatan yang mulai mengering.

Lalu kutatap wajahku sendiri. Ada perasaan yang aneh. Perasaan bersalah, perasaan bingung. Setelah petualangan bertahun-tahun dengan belasan pria. Baru kali ini aku melakukannya dengan sesama wanita. Tadi memang aku merasakan keindahan dan kenikmatan tiada tara. Tapi kini, ada rasa yang aneh. Rasa tidak enak pada diriku. Terlebih lagi, aku melakukannya dengan sahabatku Ira. Yang lebih tua, yang selama ini aku hormati dan hargai.

"Sari.." Rupanya Ira telah tersadar dan melihatku sedang menyesali diri di hadapan kaca. Ia masih terbaring telentang dengan indahnya di tempatnya. Namun ia kini mulai berdiri dengan gontai. Dipeluknya tubuhku dari belakang. Bukan pelukan birahi, bukan pelukan penuh nafsu, namun pelukan seorang kakak.
"Sari, maafin aku, ya?"
"Nggak apa-apa Mbak, Aku cuman merasa bersalah aja."
"Karena apa? karena itu aku? atau karena itu sesama wanita?"
"Bukan Mbak, tapi karena aku sendiri."
"Nggak usah kamu sesali, Sari. Kita melakukannya karena menginginkannya. Bukankah itu yang selalu kamu omongin pada semua orang?"

Untuk sesaat aku tersentak mengingat kata-kata yang pernah aku ucapkan sendiri dengan bangga pada semua orang itu.
"Aku sayang kamu, Sari."
"Ngg.. Aku juga, Mbak. Tapi.. ini berbeda."
"Iya, aku tahu. Kamu memang bukan sepertiku."
"Maksud Mbak.. aku benar-benar straight?"
"Yup! Straight as an arrow. Petualanganmu tidak mengubah hatimu. Kamu tetap Sari yang dulu, yang lucu, yang lugu, dan serba ingin tahu."
Aku mencoba tersenyum mendengar kata-kata Ira. Mungkin ia benar. Mungkin sudah waktunya petualangan ini diarahkan untuk mencari yang tepat. Bukan lagi untuk mencari kesenangan atau perasaan menang. Bukan lagi untuk meniti jenjang karir. Bukan lagi untuk mencari perasaan menaklukkan.

"Sari, ingat tidak, waktu kamu bilang, bahwa sebebas-bebasnya kamu bertualang, kamu tidak akan pernah merugikan orang lain, atau merusak rumah tangga orang lain?"
"Iya.. aku ingat."
"Aku yakin, dibalik keliaran kamu selama ini, kamu sebenarnya hanya sedang mencari yang terbaik buat diri kamu."
"Jadi?"
"Jadi.. well.. hiduplah dengan wajar seperti semula. Lupakan apa yang pernah terjadi di antara kita barusan. Anggap saja ini sebagai ugkapan persahabatan. Seperti yang sering kamu lakukan dengan teman-teman priamu."
"Aku tidak tahu lagi, Mbak. Mungkin selama ini aku hanya mencari kesenangan aja. Mencari kepuasan. Dan bukannya mencari yang terbaik seperti yang Mbak barusan bilang."
"Aku ngerti. Apakah yang kita lakukan barusan ini akan mengubah kamu? Kalaupun iya, seberapa lama?"
"Aku benar-benar tidak tahu Mbak."

Ira mebalikkan tubuhku menghadapnya, lalu memelukku. Kehangatan tubuhnya tak lagi terasa seperti membakar birahi. Namun seperti kehangatan seorang ibu, yang sudah lama tidak pernah aku rasakan sejak orang tuaku meninggalkanku di sebuah panti terkenal di kota ini, tempat aku pertama kali mengenal Ira.
"Dengar, Sari.. Lakukan yang kamu rasa terbaik. Untuk orang tertentu, Cobalah untuk melibatkan cinta, melibatkan kasih sayang, tidak hanya berorientasi kenikmatan, kepuasan, atau karir."
"Hmm.. aku akan coba, Mbak.."
"Tapi, kalau untuk sekedar memberimu rasa senang.. well, I think it'll be OK to do it just for fun! Just like we did just now!"
Kami tersenyum, lalu kembali tertawa, suasana kembali mencair.
"Sari, nothing can change you but yourself. Ikuti aja kemana pikiranmu membawamu. Selama kamu pikir itu akan memberimu kemajuan, lakukanlah, kalau tidak, ya.. pikirkanlah lagi."
"OK, Mbak. Aku akan mencari yang terbaik. Tapi kalau lagi pengen.. well.. yaah.. boleh kan kalau kadang-kadang nelfon Mbak Ira lagi?"

Kami tertawa-tawa lagi, meski di dalam kepala ada rasa haru mengingat kembali betapa para pengasuhku menaruh harapan besar padaku, untuk menjadi yang terbaik. Cukup lama kami berpelukan sebelum kami mandi dan berpakaian, sampai akhirnya beberapa sahabat tiba di rumah Ira, untuk makan malam. Sampai semuanya pulang, aku berpamitan dengan Ira. Dan dia mengecup bibirku, lalu berkata.
"Sari.. thanks yah. Yang tadi itu.."
Ira mengedipkan mata kirinya, kami tertawa-tawa kembali. Lalu aku mengemudikan kembali Katana hijauku ke apartemenku, istanaku. Tempat dimana si pemburu beristirahat dan menggantung senapannya. Sebelum keesokan hari membidik sasaran baru. Sambil berharap suatu saat akan menemukan yang terbaik.

Tamat

0 Gairah malam

Namaku Wawan. Aku bekerja sebagai penulis lepas di berbagai media cetak. Aku akan menceritakan pengalamanku yang berhubungan dengan dunia lesbian.
Suatu ketika aku pergi ke luar kota dengan kendaraan sendiri. Di tengah perjalanan dadaku merasa sesak. Aku menghentikan mobilku ke pinggir jalan. Waktu itu hampir pukul 8 malam. Keadaan di sekeliling adalah persawahan yang gelap dan sepi. Hanya ada sebuah rumah agak jauh di depan. Ada papan namanya. Yang bisa kubaca hanya 'Jam praktek 17.00-21.00'. Dari situ aku bisa tahu kalau itu rumah dokter.

Aku jalankan mobil sampai depan rumah itu. Ternyata benar. Dokter Merry. Aku turun dan langsung masuk dengan membuka pintu yang setengah terbuka. Aku terkejut. Dua orang wanita saling berpelukan. Memang saling berpelukan tidak akan mengejutkan. Tetapi yang mengejutkan adalah mereka berdua dalam keadaan telanjang.

Aku sengaja terbatuk. Salah satu dari mereka malah mengajak aku untuk bergabung. Kalau dadaku tidak sakit, mungkin aku langsung saja buka semua pakaian. Tapi sekarang aku datang dengan keluhan. Mereka berdua akhirnya sadar. Mereka berdua cepat mengenakan pakaian tanpa memakai pakaian dalam yang berserakan di lantai.
Sang dokter yang bernama Merry sudah berusia sekitar 32 tahun. Tingginya sekitar 158 cm dan beratnya sekitar 51 kg. Kulitnya putih mulus dan di telinganya tergantung sebuah kacamata minus. Rambut hitamnya lurus dan panjang.

Perawatnya. Namanya Emma. Usianya sama denganku. 22 tahun. Tingginya sekitar 155 cm dan beratnya sekitar 45 cm. Kulitnya sawo matang sama denganku. Rambutnya lurus dan hitam terpotong pendek ciri khas seorang perawat.

Ketika diperiksa, aku berpikiran untuk mengundang mereka berdua ke Yogya. Aku ingin melihat langsung percumbuannya. Hanya melihat. Tidak bergabung dalam percumbuannya. Kuutarakan hal ini setelah selesai diperiksa. Mereka berdua setuju. Kami saling bertukar nomor telepon.

Akhirnya kami bertemu di sebuah hotel berbintang di kota Yogyakarta. Malam itu aku melihat langsung mereka berdua bercumbu di kamar hotel tersebut. Mereka melakukannya seolah-olah tidak ada orang yang melihat. Kurekam dengan handycam setelah minta ijin mereka berdua. Aku juga minta ijin untuk menyebarluaskan permainan mereka sebagai sebuah VCD porno. Dalam waktu dekat pembaca mungkin bisa mendapatkannya di pasaran dengan judul yang sama dengan judul diatas. Kupilih judul itu karena pengambilan gambar dilakukan pada cahaya lampu yang berintensitas kecil atau samar-samar.
Pada awalnya mereka berdua dengan menari-nari melepaskan satu persatu pakaian yang dipakai dengan iringan musik lembut dari sebuah CD yang kuputar. Tidak lupa juga Merry melepas kacamata yang dipakainya. Setelah mereka berdua telanjang bulat, iringan musik lembut berganti dengan desahan-desahan kenikmatan.

Merry menghampiri Emma yang duduk di kursi sofa. Diciumnya bibir Emma. Tangan kanan Emma membelai payudara kiri Merry yang berukuran 34. Emma merubah posisinya dengan bertumpu pada kedua tangan dan lutut. Dari belakang Merry membuka vagina Emma dan menghisap vagina Emma dengan lidahnya. Lalu jari tengah tangan kanannya mengocok vagina Emma. Tangan kanan Emma meremas sendiri payudara kanannya yang berukuran 38.

Kemudian Merry menggesek-gesekkan kedua payudaranya ke pantat Emma. Dia lalu duduk di atas pantat Emma dan mengesek-gesekkan kedua payudaranya ke punggung Emma. Beberapa menit kemudian Merry berdiri dan Emma kembali duduk. Emma duduk sambil tangan kanannya membelai vaginanya sendiri sambil melihat Merry berdiri dan meremas-remas kedua payudaranya sendiri bergantian.

Merry kemudian jongkok di depan Emma. Dihisapnya vagina Emma dengan lidahnya. Emma memegang kepala Merry. Merry sendiri juga mengocok vaginanya sendiri dengan jari tengah tangan kanannya dari arah pantat. Emma merebahkan tubuhnya ke kursi sofa. Ditariknya Merry supaya naik ke atas kursi sofa. Merry naik dan menyodorkan payudara kanannya ke mulut Emma yang langsung menjilatinya sambil membelainya. Merry sedikit turun ke bawah yang menyebabkan lidah Emma menjilati lehernya. Sementara payudara kanannya masih dibelai dan diremas-remas oleh Emma. Merry membelai vagina Emma dengan tangan kanannya.

Lalu Merry berdiri dan mengambil segelas air dari meja. Emma juga berdiri dan merapat ke tubuh Merry. Payudara kanannya dijilati oleh Merry yang payudara kanannya menempel di bawah belahan kedua payudara Emma. Sedangkan payudara kirinya disambut belaian tangan kiri Emma yang pinggangnya dipeluk oleh Merry. Emma menurunkan tubuhnya sedikit sehingga mulutnya dapat menghisap payudara kiri Merry. Mulutnya setengah terbuka menerima air yang ditumpahkan Merry ke payudara kirinya. Payudara kanannya digesek-gesekkan ke paha kiri Merry. Emma lalu menjilati payudara kiri Merry yang basah.

Merry menarik Emma untuk berdiri. Diciumnya bibir Emma dengan penuh nafsu. Emma membalas dengan tak kalah nafsunya. Mereka berjilatan lidah. kedua payudara mereka saling bergesekan. Emma turun kembali dan langsung menghisap vagina Merry dengan lidahnya. Tangan kanannya meremas-remas payudara kanannya sendiri.

Emma kemudian membimbing Merry untuk tengkurap di meja dengan kedua kaki masih dibawah. Emma jongkok di antara kedua kaki Merry dan mengangkangkan kakinya. Dihisapnya vagina Merry dengan lidahnya dari belakang sambil tangan kanannya membelai paha kanan Merry. Sedangkan Merry meremas-remas payudara kanannya sendiri. Lalu Emma ikut merapat ke meja. Dari arah samping Emma mencium bibir Merry yang langsung dibalasnya juga dengan ciuman. Payudara kanannya saling bergesekan dengan payudara kiri Merry. Tangan kanannya membelai pantat Merry. Dia lalu berdiri di belakang Merry. Digesek-gesekkan kedua payudaranya ke pantat Merry dengan sedikit menurunkan tubuhnya.

Lalu Merry membalikkan tubuhnya. Dibimbingnya Emma untuk duduk di meja. Merry lalu menjilati payudara kiri Emma. Kedua kaki Emma menjepit pinggang Merry. Merry melanjutkan dengan menghisap payudara kiri Emma. Kembali Merry menjilati payudara kiri Emma. Kali ini dilanjutkan dengan menjilati leher Emma yang menengadahkan kepalanya. Emma merebahkan tubuhnya ke meja. Merry naik ke meja dan menungging di atas kepala Emma yang langsung menghisap vagina Merry dengan lidahnya. Emma sendiri juga membelai vaginanya sendiri dengan kedua tangannya.

Emma bangkit dari posisi tidurnya. Dia juga menungging dan menghisap vagina Merry dengan lidahnya dari belakang. Setelah beberapa menit, dibaliknya tubuh Merry. Dihisapnya kembali vagina Merry dengan lidahnya. Emma merasa lelah dan akhirnya dia merebahkan tubuhnya di samping Merry. Merry merasa belum puas. Dia mencium Emma yang dibalas Emma dengan ciuman pula. Kedua jari tengah tangan mereka mengocok vagina mereka masing-masing.

Akhirnya mereka berdua berdiri. Mereka berpelukan sambil mengesekkan vagina mereka. Kedua payudara mereka saling menempel. Agak lama mereka dalam saling menggesek vagina. Lalu Merry menjilati payudara kiri Emma.

Hanya sebentar. Lalu Merry mengangkat tubuh Emma dan dibawanya ke tempat tidur. Diturunkannya tubuh Emma di tempat tidur. Lalu dia memposisikan vaginanya supaya dihisap oleh Emma dengan lidahnya. Merry lalu menurunkan pantatnya ke kedua payudara Emma. Digeseknya payudara Emma dengan pantatnya. Dijitatinya juga lidah Emma yang terjulur keluar. Jilatannya turun ke leher. Pantatnya juga semakin turun. Vaginanya akhirnya bertemu dengan vagina Emma. Mereka saling menggesekkan vagina mereka. Merry meremas kedua payudara Emma dengan kedua tangannya. Dijilatinya juga kedua kedua payudara Emma bergantian. Jilatan lidahnya semakin turun ke bawah dan menjilati pusar Emma.

Kedua tangannya masih meremas kedua payudara Emma yang kelihatan sudah mencapai titik puncak kegairahan. Lidahnya menghisap vagina Emma yang kedua tangannya sendiri mengganti kedua tangan Merry dalam meremas payudaranya. Merry akhirnya juga telah mencapai titik puncak kegairahan. Dia tertidur dengan kepalanya masih berada di atas selangkangan Emma. Emma sendiri juga tertidur dengan kedua tangan berada di kedua payudaranya sendiri. Tahu-tahu hari sudah pagi dan mereka berdua berpamitan kepadaku untuk kembali ke tempatnya semula.

Demikian ceritaku. Mungkin terlalu sederhana. Tidak seperti ketika menulis artikel untuk media cetak. Aku berharap ada kaum lesbian yang mau kulihat langsung percumbuannya dan kalau diijinkan bisa kurekam sebagai sebuah VCD porno dan disebarluaskan di pasaran.

Tamat

0 Gairah sesama jenis - 1

Jumat malam, waktu yang ditunggu-tunggu oleh hampir semua orang kantor. Bagi yang sudah berkeluarga, tentu ingin segera berakhir minggu dengan keluarganya, tapi bagi yang single sepertiku? Sudah lama tidak ada lagi yang 'apel' di rumah sejak pacarku (atau teman kencan?) pindah keluar kota beberapa minggu yang lalu. Sayang juga, padahal kami selalu saja melakukan hal-hal seru. Seperti biasa, aku yang paling terakhir meninggalkan ruang kantor. Semua rekan berpamitan pulang dengan wajah berseri-seri, ada yang dijemput pacar, ada yang dijemput suami/istri dengan anak-anak, bahagia sekali tampaknya. Aku merasa konyol, karena dengan bentuk dan paras seperti aku, yang lumayan cantik (kata orang), dan kurus tinggi seperti yang diinginkan banyak wanita lain, sebenarnya mudah sekali untuk mendapatkan teman kencan. Tapi aku tidak tahu kenapa aku menolak banyak ajakan rekan pria untuk kencan. Aku mulai merasa, apakah masa avonturir-ku telah berakhir? apakah masa pengembaraanku di dunia 'bebas' telah usai? Tapi beberapa saat setelah itu, aku sadar ternyata prediksiku itu salah.

Aku terdiam lama di dalam Katana hijauku di tempat parkir. Waktu masih menunjukkan pukul enam sore, terlalu dini untuk balik ke apartemenku di gedung **** (edited). Tapi kalau mau pergi jalan-jalan, juga terlalu sore. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi rumah seorang kawan dekatku, Ira. Dia mantan kakak kelasku, usianya 28 tahun, lebih tua 3 tahun dariku. Hidup sendiri cukup lama karena tidak juga menemukan pasangan yang tepat, maklumlah, potongan dan gayanya terlalu tomboy. Bicaranya pun kasar ceplas-ceplos, meski sebenarnya dia seorang yang berhati emas.

Tak lama kemudian, Katana hijauku berhenti di depan rumah Ira. Rumah mungil yang berwarna ungu dan berbentuk asimetris di sana sini, khas rumah seorang arsitek. Kutekan bel pintu, dan muncullah temanku itu, masih mengenakan kaos overall longgar, dengan rambut acak-acakan yang poninya dijepit ke atas.
"Sari! Tumben main ke sini pas weekend! Nggak ada yang ngapelin yah?"
"Ah, tidak kok Mbak, emang lagi sendirian nih, sejak ditinggal Ditto."
"Lho, memangnya pasaran turun? Biasanya kan cepet banget nemu gantinya?"
"Enak aja, aku cuman lagi kehilangan adventure touch-ku, Mbak!"
"Hihihi, ah ayolah masuk! Tapi sorry ya, aku masih lagi ngerjain gambar."
Aku pun mengikutinya masuk ke rumahnya yang funky itu. Ruang tamunya berdinding oranye, dengan kursi tamu dari ban bekas yang dicat warna warni. Kertas-kertas gulungan berserak di sana-sini. Benar-benar seniman tulen, pikirku.

Aku mengamati Ira yang berdiri di depan meja gambarnya yang tampak rumit, sambil mengamatinya lagi. Sebagai seorang berdarah campuran Belanda-Menado, Ira sangat cantik dan memiliki tubuh yang ideal. Memang tidak setinggi aku, namun ia sangat langsing dan menarik, lekuk pinggangnya begitu indah, pantat dan dadanya juga tidak berukuran terlalu besar dan menggantung, tapi padat dan kencang. Rambutnya panjang sebahu, kulitnya putih bersih, alisnya tebal, matanya pun indah sekali, hidung dan dagunya lancip-lancip.
"Nggambar apaan sih Mbak?"
"Oh, ini project dari PT **** (edited)."
"Wah, duit besar nih, rupanya?"
"Tidak kok, cuman bantuin teman aja."
"Aku mengganggu kerjaan Mbak Ira, ya?"
"Nggak kok, Sar, deadlinenya masih lama, cuman aku aja yang pengen cepat selesai, biar cepet dapet duit, hihihi."
"Haha.. memang itu yang mesti dikejar Mbak, biar hidup tenang."
"Ah, gimana mau tenang, Sari? Rasa-rasanya boseen deh hidup sendirian."
"Yah, kenapa Mbak Ira tidak kawin aja?"
"Hahahaha.. kawin?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Belum laku sih, Sar!"
"Mana mungkin? Mbak Ira cantik gitu, masa nggak ada yang naksir?"
"Ah jangan puji-puji gitu dong, bisa ge-er nanti aku!" jawaban Ira yang terakhir itu dilakukannya sambil melirik padaku.

Lirikan itu terasa aneh, agak-agak.. gimana gitu. Aku sih, tadinya tidak merasa apa-apa, tapi aku bingung juga, apa maksudnya. Lalu dia bertanya lagi,
"Kamu sendiri gimana, Sar? Masih avonturir terus?"
"Yah.. seperti yang Mbak tahu lah."
"Ati-ati lho, Sar, jaman sekarang kan udah ngga sehat gaya hidup gitu."
"Ah, kan yang aku pilih itu sudah lewat seleksi semua, Mbak!"
"Iya sih, tapi ati-ati ajalah, siapa tahu ada yang kurang baik."
"Justru itulah, avonturirku ini kan bertujuan untuk menemukan yang terbaik!"
"Hahaha, ada-ada aja kamu, Sar. Omong-omong, ceritain dong tentang petualanganmu, siapa tahu aku jadi dapat hikmahnya!"
"Eits, masa aku harus cerita sampai sedetail-detailnya?"
"Hahaha, boleh aja, siapa tahu bisa menghangatkan suasana?"

Sampai kemudian ponsel Ira berbunyi. Kami lalu berhenti berbicara dan ia berbicara cukup panjang di ponsel, dengan bahasa Belanda yang aku tidak mengerti. Setelah minum segelas air es, kami duduk di sofa ruang tengahnya yang nyaman. Rumah itu mungil namun benar-benar tertata. Ruang tengah itu memiliki satu sisi dinding kaca, menghadap ke halaman belakang yang tidak luas, namun indah sekali dengan tanaman bunga-bunga dan kolam ikan. "Kamu tidak gerah pakai baju kerja gitu, Sar? Copot blazernya laah!" Aku pun melepaskan blazer biru muda yang kukenakan. Di balik blazer itu aku mengenakan kaos ketat pendek berwarna putih. Ketat sekali hingga kedua payudaraku tercetak dengan indah dan sempurna, sementara kaos itu juga amat pendek, hingga perutku yang halus dan langsing bisa mengintip keluar. Dari tadi Ira menatap tubuhku.
"Badan kamu bagus sekali, Sar. Fitness terus yah?
"Nggak kok Mbak, cuman berenang aja seminggu dua kali."
"Wah.. seharusnya otot-otot kamu keras dong?" kata Ira sambil memegang-megang lenganku.
Tapi pegangan-pegangan itu terus berubah menjadi remasan-remasan lembut, yang pelan-pelan bergerak ke pundakku.
"Hmm.. Bagus sekali badan kamu, Sari.. aku pengen punya badan seperti ini. Boleh nggak aku melihat sampai ke dalam-dalamnya?"
"Ahh.. Mbak Ira, emangnya badanku beda dengan badan Mbak?"
"Ya beda dong, Sar.. Badanku biasa aja, tidak sekencang badanmu, mau lihat?"

Sambil mengakhiri kata-katanya, Ira tiba-tiba menarik ujung kaosnya dari bawah, mengangkatnya ke atas, lalu terlepaslah kaos oversize-nya dari badan. Aku melihat tubuh Ira yang tak mengenakan apa-apa selain celana dalam hitam. Kulit tubuh yang kuning langsat, halus mulus, pinggang yang ramping, pinggul yang kencang, leher yang jenjang dan halus, dan.. payudaranya sungguh indah, jauh lebih indah daripada payudaraku sendiri yang aku bangga-banggakan. Bentuknya bulat, kencang dan padat, putingnya berwarna kemerahan, dan tampak mencuat agak tinggi di tengah lingkaran yang juga kemerahan.
"Eh.. Mbak.. kok gitu sih?"
"Kenapa, Sar? Jelek kan badanku? Susuku aja tidak sekencang dan sebagus susu kamu.." katanya sambil tangannya meremas buah dadanya.
"Tapi bagian ini sensitif sekali.." katanya sambil jemarinya mengusap kedua putingnya, menarik dan memilin-milin.
Matanya setengah terpejam menatapku, dagunya agak terangkat, ekspresinya tampak sedang menghayati rasa geli yang dibuatnya sendiri, sambil mengeluarkan desahan lirih, "Mmm.. mm.." Aku pun bisa membayangkan rasanya bila puting susuku diperlakukan seperti itu, aku pun sudah pasti menggelinjang kegelian.

Diam-diam aku terangsang juga membayangkan kalau puting susuku diplintir-plintir begitu oleh jemari seorang pria. Ira berhenti memainkan putingnya, dapat kulihat kini betapa kedua puting susu yang kemerahan itu kini menjadi semakin merah dan tampak tegang sekali seperti penghapus pensil. Melihat dari bentuknya, tampaknya kedua puting Ira sudah tak asing lagi dengan hisapan, jilatan, atau perlakuan-perlakuan semacamnya. Aku pun secara iseng bertanya, "Mbak Ira sudah pengalaman gitu, lho!"
"Ahh, kamu lebih berpengalaman lagi dong, Sar!"
"Maksudku.. kenapa Mbak tidak pergi kencan di malam minggu begini?"
"Nggaklah, Sar. Malam minggu gini, teman kencanku diapelin orang lain."
"Diapelin? emangnya..?"
"Iya, dia diapelin oleh pacarnya. Hari lain sih, kami bebas aja."
"Emangnya.. siapa sih teman kencan Mbak?"
"Kamu tahu si Renny kan? Yang psikolog itu?"
"Renny?"

Aku agak terkejut ketika mendapati bahwa sahabatku itu ternyata bercinta dengan sesama jenis, padahal keduanya tampak normal saja, tidak ada yang terlihat tomboy atau kelelaki-lakian. Bahkan Renny yang diceritakannya itu sangat feminin dan dikenal sebagai wanita karier yang sukses dan disegani di kota kami.
"Kenapa Sar? Jadi selama ini kamu belum tahu?"
"Sejujurnya sih.. belum."
"Hihihi, kamu terbebas dari gossip rupanya, eh? Dasar yuppies!"
"Eh.. Bener lho, aku tidak mengira sama sekali, Mbak."
"Hahaha, eh, Sar.. pernah nggak kamu membayangkan melakukannya dengan sesama wanita?"
"Hmm.. tidak tahu yah? Aku belum pernah membayangkan, atau terpikir ke arah sana sih.."
"Tahu tidak, Sar? Sesama wanita itu lebih nyaman. Tidak egois, penuh penghayatan dan emosi! tidak promosi lhoo!"
"Hmm.. aku bisa bayangkan bahwa seorang wanita mungkin lebih tahu cara memperlakukan badan wanita daripada pria."
"Jelas dong, kalau pria, mereka memperlakukanmu seperti permen karet!"
"Permen karet?"
"Iya, menelanjangimu, membawamu ketempat gelap, lalu menikmatimu sehabis-habisnya, sampai mereka tidak merasa nikmat lagi, lalu kamu dibuang begitu saja."
"Oh?"
"Iya, belum lagi, kadang-kadang mereka suka meniup permen karet jadi menggelembung gendut!"
"Hahaha.."
Kami tertawa-tawa lagi. Tapi sedikit banyak aku mulai membayangkan gambaran Ira tadi, bahwa tidak ada yang lebih tahu tentang tubuh wanita selain wanita sendiri.

Aku dari tadi bersandar di dinding kaca sambil bercakap-cakap dengan Ira, pembicaraan mulai mengarah ke hal-hal yang membangkitkan birahi, meski masih juga diselingi canda ria. Namun kini aku menyadari kalau Ira mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, dekat sekali. Lalu pelan-pelan tangannya menghampiriku dan menyentuh perutku yang mengintip dari balik kaos pendekku. Entah kenapa, aku tidak melawan ketika wajah Ira mendekati wajahku, lalu mulutnya mendarat di bibirku, mengisap dan membasahinya dengan lidahnya. Aku merasakan kehangatan yang berbeda dengan yang sudah pernah kurasakan dari belasan pria. Sangat berbeda. Bibir wanita ini terasa lembut, lembab, dan membuat bibirku terasa geli dan enak. Aku mulai merasakan tangan Ira yang dari tadi hanya bermain di perutku mulai menyingsingkan kaosku ke atas, dan kini kehangatan tangannya merambati pinggang dan punggungku, aku merasakan hangat yang lain dari yang lain. Ira memejamkan matanya dan mulai menggerakkan tangannya pelan-pelan ke atas. Mengusap perlahan-lahan pinggangku, lalu kurasakan kehangatan telapak tangannya yang halus meraba ke atas ke punggungku, aku sedikit berjingkat ketika kehangatan itu tiba di tengkukku yang sangat sensitif, aku mengangkat bahuku kegelian, tanpa sadar aku mengerang, "Ngghh.." Lalu bibirnya meninggalkan bibirku, merambati rahangku sambil meniupkan nafas halus yang membuat pertahananku semakin melemah.

Aku memiringkan kepalaku ke kiri ketika bibir dan lidahnya yang lembut dan lembab serasa membelai leher dan telinga kananku, Ohh.. geli sekali rasanya, namun aku tak ingin menghindar. Lidahnya bermain di telinga kananku, membuat rintihan memelasku terdengar lagi. Di sela jilatannya, kudengar Ira berbisik, "Sar, kulepas kaos kamu, ya?" Aku hanya mengangguk lemah dan mengangkat kedua tanganku ke atas agar ia dapat meloloskan kaosku dengan mudah, dan ia melakukannya. Kaosku belum juga terlepas dari tanganku, dan masih menutup wajahku ketika kurasakan hangat bibirnya tiba-tiba menciumi belahan dadaku yang halus. Di tengah kegelian aku akhirnya mampu meloloskan kaosku dan melemparnya jauh-jauh. Tangan Ira memeluk tubuhku erat-erat hingga aku dapat merasakan kehangatan dan kelembutan kulit tubuhnya bersentuhan menempel erat pada perut dan dadaku. Kehangatan yang serasa menyelimuti dan menaungi tubuhku, memberiku rasa lemas yang tak terperi.

Bersambung . . . .

0 Felicia - 2

Tangan Felicia mulai melingkar, menjelajahi bagian belakangku. Diiringi senyum nakalnya, Felicia menarik bagian belakang celana dalamku, membuat bagian selangkangan celana dalamku menjadi tertarik lebih ke dalam. Tekanan yang dirasakan oleh klitorisku yang mulai membengkak hampir membuatku orgasme di tempat, sementara kurasakan kedua badan kami seolah meleleh, bercampur satu sama lain. Tak lama kemudian Felicia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku, dan kulumat dengan erat lidah kekasihku yang baru ini.

"Masih ingin main sembunyi cincin?" tanya Felicia menggoda.
"Fuck the ring!" (Persetan dengan cincin itu!) semburku sementara tanganku kembali menyelinap ke dalam celana dalamnya.
"I'd rather you fuck me instead", sahut Felicia, suaranya menyerak seksi, nafasnya panas di telingaku.
"Lalu tunggu apa lagi?" kataku sembari meraih tangannya.

Kami pindah ke sebelah ranjang dan menanggalkan apa yang tersisa di badan kami (kecuali celana dalamku). Felicia benar-benar terangsang, cairan-cairan kelembaban mulai menetes dan bergulir di pahanya. Seluruh tubuhku mulai bergetar penuh antisipasi, terlebih saat kubayangkan betapa lezatnya jika kuletakkan kepalaku di antara kedua pahanya. Felicia naik ke atas ranjang dan menyandarkan diri ke dinding. Lalu dengan kedua jarinya dipisahkannya kedua bibir vaginanya, dan dengan penuh nafsu kusaksikan jarinya yang lain menerobos masuk. Setelah mengaduk-ngaduk beberapa saat jari lentiknya benar-benar basah, dan Felicia mengeluarkan jarinya, mengacungkannya di depan mukaku, membuat isyarat 'mendekatlah'. "Ayo, kita bersenang-senang malam ini", undang Felicia seraya mengangkat kaki kirinya ke dekat wajahku dan memain-mainkan jemari kakinya yang mungil. Ketika kutanggalkan celana dalamku, kusadari bahwa bagian selangkangan celana dalamku ternyata sudah kuyup. Tadinya hendak kulempar begitu saja celana dalamku itu, namun Felicia berseru, "Tunggu Lisa, kesinikan kau punya celana dalam itu!" Kulemparkan celana dalamku, dan segera setelah menyambutnya Felicia mendekatkan celana dalam itu ke hidung mancungnya sembari menghirup dalam-dalam aroma sekresi kewanitaanku. "Oooh, bau kamu betul-betul sedap!"

"Memangnya sudah kebiasaanmu, yah, menciumi celana dalam milik cewek lain?" tanyaku seraya tersenyum lebar.
"Oh, cuma mereka-mereka yang bakal saya entot", katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Felicia mengusap-usapkan bagian selangkangan celana dalamku yang basah kuyup ke hidung dan mulutnya sementara matanya mengawasiku, yang mulai mengecupi jari-jari kakinya. Kususupkan lidahku di antara setiap jari, kukulum, dan Felicia mulai tertawa-tawa geli campur nafsu. Lalu mulailah kutelusuri kakinya yang panjang dengan bibirku, dan berhenti ketika aku sampai di bagian dalam pahanya. Kujilat, kukecup, dan kugigit lembut kulitnya yang putih mulus. Ya ampun, Felicia betul-betul lembut! Kuciumkan kecupan-kecupan kecil mengitari kelaminnya, dan dengan susah payah kutekan keinginanku untuk langsung menyelami kelamin Felicia dengan mulutku. Dalam pikiranku, Felicia adalah perempuan pertama dalam hidupku yang kujilat kemaluannya, maka ada baiknya kupastikan bahwa kami berdua benar-benar terangsang dulu sebelum kukubur mukaku di selangkangannya. Aku bergerak mendekati mulutnya. "Aku benar-benar butuh kamu", kataku. Felicia melingkarkan tangannya dan kami pun French kissed.

Lalu Felicia perlahan mengangkatku, memposisikan kedua susuku di depan wajahnya. Dikulumnya salah satu puting susuku di antara kedua bibirnya dan mulutnya yang hangat menyedoti putingku, mengirimkan gelombang-gelombang kenikmatan ke seluruh tubuhku. "Saya punya ide", katanya sambil terus menjilati. "Bagaimana kalau kita bolos saja dan tidak usah ikut tur besok? Kita bisa mengunci diri di kamar ini dan berasyik-asyikan seharian penuh." Untuk membujukku, Felicia menyelipkan tangannya di antara pahaku dan mulai mengusap-usap celahku. Kusongsongkan pinggulku menyambut dua jari Felicia ke dalamku. Ia melanjutkan menghisap payudaraku sekaligus jarinya menjalari vulvaku, sedangkan aku hanya mendesah-desah mendorong-dorongkan kemaluanku menyongsong tangannya. Kupejamkan mata dan kurasakan cairan kental kewanitaanku menyemprot keluar saat ujung-ujung jari Felicia menjepit klitorisku. Orgasme yang kurasakan betul-betul intens, sumpah mati saat itu aku menyaksikan bintang-bintang.

"Kalau kita tinggal di ranjang sepanjang hari", ujarku setelah pada akhirnya berhasil mengatur napas kembali,
"Kapan kita makan?"
"Kalau kamu lapar, kamu bisa lahap vagina saya saja." jawab Felicia,
"Ah, kamu ini memang benar-benar nakal!" seruku dan kami berdua pun tertawa-tawa.

Kemudian aku pun kembali menciumi tubuhnya, menelusur kembali ke bagian bawah. Harum keringatnya membalut badannya, dan aku benar-benar menikmati rasa keasin-asinan leher dan celah dadanya. Puting payudaranya yang merah segar berbeda dengan milikku yang berwarna coklat, dan saat kusedot kedua pentilnya, warna mereka berubah menjadi gelap dan mengeras. Puting dada Felicia terlihat persis seperti karet penghapus merah di ujung sebuah pensil, dan tampak kecil dibanding ukuran dadanya yang paling tidak 36C. Pentilku sendiri kira-kira sebesar uang 25 logam, dan menurutku pas untuk ukuran 32B-ku. Kurasakan kedua ujung dadaku mulai menegak karena bersentuhan dengan perut lembut temanku ini. Felicia merangkapkan kakinya mengitari pinggangku, dan menyodor-nyodorkan selangkangannya, klitorisnya berusaha mendapatkan sebanyak mungkin gesekan.

"Ya ampun. Lisa, kamu betul-betul membuat saya senewen", kata Felicia terengah-engah. Felicia mencoba menurunkan tangannya untuk mengelus-elus kelentitnya sendiri, tapi segera kucegah.
"Sabar", kataku.
"Yang satu itu akan kutangani sebentar lagi."
"Saya benar-benar perlu kau ewe sekarang", mohonnya.
"Jangan terlalu terburu-buru", balasku seraya menyembulkan lidahku ke dalam pusar Felicia, dan meninggalkan kecupan-kecupan basah menuruni perutnya. Felicia mengangkat pantatnya mencoba membimbing mulutku ke arah gerbang perempuannya. "Eat me, please!" jeritnya tak sabar. Kurebahkan diri di antara kedua paha Felicia, kugunakan tanganku untuk membuka lebar labianya. Kugunakan hidungku untuk membelah lipatan kelaminnya dan menghirup dalam-dalam. Keharuman kelamin Felicia menyengat inderaku. Aromanya jauh lebih terasa dibandingkan dengan bau cairanku sendiri. Bibir dalam dari kemaluan Felicia yang berwarna merah muda menyelinap keluar, dan sekresi kewanitaannya menjadikan bibir tersebut benar-benar kontras dengan bibir luar kemaluannya yang berwarna merah gelap. Lalu perlahan kutarik kulit pelindung kelentitnya, menjadikan klitorisnya yang bengkak mencuat keluar, dan kucolek dengan menggunakan jari telunjuk.
"Kau ini benar-benar centil tukang goda. Saya benci, deh", rintih Felicia.
"Pembohong", sahutku. Kelentitnya betul-betul keras dan tegang, dan berdetak kencang saat kusentuh. Kutiup tonjolan ini, dan pinggul Felicia terangkat, menyambut mulutku. Ia benar-benar basah, dan kuusapkan seluruh wajahku di sekujur kelaminnya. Pipi, hidung dan mulutku berlumuran cairan hangatnya. "Lisa, please", minta Felicia, jemari tangannya menelusuri rambut kepalaku. "Vagina saya butuh sekali." Akhirnya kuputuskan untuk memenuhi. Menarik napas panjang, kupejamkan kedua mataku. Lidahku menelusur sepanjang garis celah kelamin Felicia. Bibir-bibir lembut Felicia membuka dan kukecup tempat paling rahasia di dunia, surga kecil di belahan paha seorang gadis. Kucicipi sari vagina Felicia, dan rasanya ternyata lebih manis lagi daripada aromanya. Kurenggangkan pahanya lebar-lebar dan kucelupkan lidahku ke dalam lubang kecil merah muda yang hangat dan lembab milik temanku.

Dinding-dinding manis kemaluannya bergerak-gerak membuka dan menutup, menjerat lidahku erat-erat. Aku menyedot dan menjilat bagaikan hidup matiku bergantung kepadanya, memberikan Felicia orgasme terhebat yang pernah dia alami. Mengunyah kelamin Felicia adalah mungkin hal paling erotis yang pernah kualami. Aromanya memenuhiku dengan gairah saat kujilat, kusedot, dan kutelan air keluarannya. Aku benar-benar tersapu oleh kenikmatan terlarang dari berhubungan intim dengan seorang gadis dan saat itu kuputuskan bahwa seks dengan lelaki jatuh ke nomor tiga dalam urutan orgasmeku, setelah memakan vagina dan masturbasi.

Felicia sudah hampir sampai di puncak ketika kuperintahkan, "Berbaliklah, aku ingin jilat pantatmu." Felicia segera menurut dan tak lama kemudan aku menyaksikan kelaminnya yang indah dari belakang, seluruh bagian kemaluannya merebak, dan sari-sarinya menetes berjatuhan. Seperti seekor anjing, kuendus-endus Felicia dari belakang. Kukecup gundukan-gundukan padat milik temanku, lalu kulebarkan keduanya, dan kujilat pertengahannya dari atas ke bawah. Campuran dari keringatnya yang keasinan, sirup liang surganya yang manis, dan rasa keasaman dari anusnya adalah rangsangan yang tak ada duanya. Kuselipkan kembali lidahku ke dalam kemaluannya, dan kumasukkan ujung hidungku ke celah pantatnya yang terlihat berkerut.

Menjilat habis Felicia memberikanku dorongan yang kuat, namun juga terasa sungguh lembut dan manis, sungguh feminin. Susah kubayangkan sesuatu yang lebih indah dari dua wanita saling bercinta. Saat itu kutemukan rahasia cinta-wanita dan aku pun ketagihan, rasanya ingin merangkak ke dalam celah milik kawanku ini dan tinggal di situ selamanya. Sementara kulumat dengan ganasnya, kumasukkan jari tengahku ke dalam vaginaku sendiri. Lalu dengan mulut penuh menampung air liurku dan cairan sekresinya kubasahi anus Felicia. Perlahan jari tengahku yang basah terbalut pelumasku sendiri kudorong melalui kerutan lubang pantatnya yang mungil. Felicia terasa benar-benar hangat dan lembut di dalam dan aku bisa merasakan otot-ototnya berkontraksi untuk menahan jariku di situ. Kudengar partnerku mengerang-erang dalam bahasa Spanyol yang walaupun tak kumengerti namun ekspresi universal seorang gadis di ambang orgasme bisa kupahami.

Felicia menutupi mukanya dengan sebuah bantal dan tak bisa berhenti merintihkan jeritan-jeritan kenikmatan. "aah, Dios Mio!" serunya ketika jari-jariku yang lain bergulir di klitorisnya. Dielus, dijepit, dan diperah seperti itu membuat kelentit Felicia menjadi betul-betul sensitif. Mengetahui bahwa kami berdua benar-benar dekat dengan puncak, Felicia dengan cepat melempar bantal yang menutupi mukanya, dan mengerang, "Seb.. sebentar." Kuhentikan gerakanku dan didorongnya tubuhku, menjadikanku telentang di ranjang dengan kedua kakiku terkangkang lebar. Dengan gerakan cepat tangan kiri Felicia meraih pergelangan kaki kiriku dan mengangkat, meletakkan kakiku di pundaknya sementara dengan tangan kanannya mendorong lutut kananku, melebarkan labiaku.

Memposisikan bagian bawah dari tubuh langsingnya di antara kedua pahaku, Felicia berkata, "Itilku dan itilmu." Dengan dua jari kutarik ke atas kulit depan klitorisku sementara Felicia melakukan hal yang sama dengan klitorisnya sendiri, lalu Felicia pun bergeser sehingga kedua kemaluan kami bertemu. Perasaanku saat itu tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Melalui kerimbunan hitam rambut kelaminku kulihat coklat lembut rambut kelamin Felicia sementara dadanya yang putih mulus dan memerah karena gairah terlihat kontras bergesekan dengan betisku yang kuning langsat. Kedua vagina kami, dengan labia yang basah saling menghempas, saling menjalin, dan saling melelehi menjadi satu. Felicia bergerak memutar-mutar selangkangannya dan kedua kelentit kami yang mencuatpun saling bergesekan. "aah, ahh, yess.. yess", kupejamkan mata dan perlahan kuremas-remas dadaku dengan tanganku yang bebas. "Oooh, ngh.. aakh", kurasakan cengkeraman tangan Felicia meninggalkan pergelangan kakiku saat ia menengadah dan tubuhnya mulai terkejang-kejang. Kurasakan bagian bawah tubuhku bergerak-gerak seperti kehilangan kontrol, maju mundur naik turun bagaikan piston. "Oooh.. yee.. eessh..!" seru kami bersamaan saat kedua kelentit kami saling bergesekan dengan kencangnya. Tubuhku menggelinjang hebat, Felicia mengejang dan terasa waktu pun menghilang saat secara bersamaan vagina kami menyemburkan cairan kental orgasme.

Sekali, dua kali, dan tiga kali gelombang orgasme menghempas Felicia, dan bahkan saat terbaring lunglai di sisiku pun tubuh seksinya masih bergemetar. Kulingkarkan lenganku di bahunya, dan kurangkul kekasih baruku erat-erat. Kukecup pipinya lembut. Felicia membuka matanya, menyambar bibirku dan melumat mulutku. "Idih, kau berasa seperti vagina", katanya. "Ayo kita melarikan diri saja, dan bercinta selamanya", kusuarakan angan-angan di benakku. "Kedengarannya nikmat", balas Felicia. Kami kembali berciuman dan kurasakan tangan Felicia kembali meraba-raba rimbunan hitamku yang sekarang benar-benar basah kuyup tersiram sekresi kami berdua.

Kubiarkan diriku pasif terbaring di pelukan Felicia cukup lama sementara dia bermain dengan bagian bawahku. Belaian-belaiannya lembut seolah ia menghapal seluruh tonjolan dan lipatan-lipatan vaginaku. Lalu Felicia menelentangkan diri. "Ayo kita ngentot lagi", katanya sembari menggoyang-goyangkan tubuh mengatur posisi. "Ayo duduk di muka saya", perintahnya. Aku pun berlutut, menunggangi kepalanya, dan mulai menurunkan kemaluanku ke wajah cantik Felicia. Felicia memiliki lidah yang betul-betul panjang dan aku pun mulah mendesah dan mengerang ketika ia melesakkan lidahnya ke dalamku senti demi senti. Urat-urat dalam vaginaku otomatis mencengkram erat lidah Felicia sementara pinggulku bergerak melingkar dengan perlahan, benar-benar larut dalam ulasan lidah Felicia. Mulutku terasa kering dan aku pun merasa betul-betul perlu melahap vaginanya lagi.

Kuputar posisiku, kurendahkan kepalaku dan kami bercinta dalam posisi enam sembilan. Kembali kulimpahkan segala perhatianku ke kelamin partnerku, menyibakkan labianya yang hangat, dan ketika kukecap pelumas Felicia yang mulai mengucur kembali, kurasakan jarinya yang giliran menjelajahi pantatku. Nafasku kembali terengah-engah sementara lidah Felicia membelai-belai jauh ke dalam rahimku dan jarinya menjelajahi bagian belakangku.

"Uuuh .. uungh .. unghh" seruku tertahan-tahan sebab mulut dan hidungku terselimut ke perempuanan Felicia sementara dia pun mengeluarkan suara-suara yang serupa. "Ah! Aah! aah! Lagi.." otot-otot vaginaku menggeletar saat Felicia menggigit lembut klitorisku.

"Auh!"
"Yaah!" kurasakan geliginya mengitari kacangku.
"Oooh.. yeessh.. ssh.." kulingkari kelentitnya dengan bibirku dan kusedot keras-keras.
"Yes.. yes.. yee.. ee.. sh!"
"Yeesshh.. mmh.. mffh.." ujung lidah kami berdua mengulas-ulas kedua kelentit dengan gerakan sangat cepat, kurasakan seluruh urat kedua vagina kami mengencang dan mengendur di luar kontrol dan kami pun kembali tenggelam, orgasme membanjir keluar.

Setelah kembali mengatur nafas, kulepaskan diriku dan kuhempaskan diriku di samping Felicia supaya kami bisa saling bertatapan wajah. Dengan lengan dan kaki kami saling merangkum, kami bersentuhan berciuman lembut, betul-betul kehabisan tenaga dan kecapaian. "Mudah-mudahan besok saya bangun sebelum kau bangun", katanya setengah bermimpi. "Memangnya ada apa?" seraya menyibakkan rambutnya ke samping, mengecupi pipi, hidung, dan kelopak matanya yang terpejam. "Sebab, hal pertama yang saya ingin kamu lihat besok pagi adalah wajah saya tersenyum di antara kedua pahamu", jelasnya. Oh, rasanya sekarang ini saya sudah jatuh cinta", kataku lembut. "Sini, saya jaga biar tetap hangat", katanya sambil merangkum kemaluanku ke dalam telapak tangannya yang memang hangat. Kukecup kembali bibirnya, dan sementara kami berdua berpelukan erat, kunikmati kehangatan lembab semak-semaknya yang bersandar ke pahaku. Setelah selama beberapa lama hanya desiran mesin pendingin udara yang terdengar, melalui dinding terdengar suara-suara dua orang gadis dari kamar sebelah. Tak mungkin tidak, mereka sedang bercinta.

"Kan, sudah saya bilang. Semua cewek berbuat hal yang sama", kata Felicia sambil tersenyum lebar. "Mungkin besok kita perlu mengunjungi tetangga sebelah dan mengundang mereka untuk mampir", sahutku setengah tertidur.
"Tapi itu artinya saya harus membagi kau dengan mereka", kata Felicia.
"Betul", gumamku setengah bermimpi,
"Tapi ingatlah bahwa itu juga artinya kamu bakal punya tiga buah vagina yang lembek dan basah untuk dilahap ditambah tiga mulut hangat untuk melayanimu."
"mm", katanya sembari membasahi bibir.
"Betul juga. Mari kita beramah-tamah dengan mereka besok."
Kami kembali berciuman lembut, dan tak lama kudengar desahan-desahan indah dari kedua gadis sebelah kamar hotel kami. Akhirnya, gadis pertama menjeritkan puncak kenikmatannya, diikuti segera dengan jeritan orgasme temannya. Aku tersenyum sendiri, dan sebelum kami berdua jatuh tertidur, kubalas merangkum kewanitaan Felicia dengan telapak tanganku, menyongsong alam impian.

Tamat