Cerita ini ditulis berdasarkan pengalamanku dengan seorang pria yang sangat kucintai. Ada adegan sex vulgar dan ada juga detail non-sex dalam cerita ini, ditulis sebagai jawaban atas segelintir email yang mengeluhkan bahwa cerita-ceritaku vulgar dan terlalu banyak mengumbar seks.
Aan, cerita ini kutulis khusus untukmu, sayang. Saya tak mau kehilanganmu. Selamanya, di hatiku akan selalu ada sebuah tempat untukmu. Kuharap suatu hari nanti, kamu sudi menjadi pasangan hidupku. Semoga ceritaku ini dapat mengubah pikiranmu. Saya akan ada di sini untuk menunggumu, sayang. Dan saya akan selalu mencintaimu, sampai kapan pun juga..
*****
Malam itu, saya sengaja duduk berjam-jam di depan komputerku, mencoba untuk mengetik sebuah email untuk Aan-ku yang tersayang. Besok dia akan berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja selama 2 tahun. Dan saya merasa bahwa saya harus menumpahkan isi perasaanku sebelum dia pergi. Aan adalah teman gay-ku. Kami pernah beberapa kali memadu kasih, meskipun demikian, kami tidak terikat sebagai pasangan gay.
Kami hanyalah sepasang teman yang sangat akrab seperti sepasang kekasih. Tapi saya telanjur jatuh cinta padanya. Saya tak peduli bahwa kami berlainan ras dan agama. Saya juga tak peduli bahwa umur Aan enam tahun lebih tua dibanding umurku. Saya hanya tahu bahwa saya sangat mencintainya. Sesekali air mataku menetes saat kuketik setiap kata. Kenangan-kenangan indah bersamanya kembali membayangiku.
Ketika email itu sudah selesai kutulis, air mataku kembali menetes. Kubaca ulang emailku itu.
Dear Aan, Honey, tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Rasanya seperti baru kemarin saja kita bertemu, padahal kita sudah mengenal satu sama lain sejak awal Juli 2004. Jujur kuakui, saat pertama kali kudengar suaramu di telepon, kubayangkan kamu sebagai seorang bapak-bapak berkumis, bertubuh tambun. Tapi saat kita bertemu, saya kaget sekali. Kamu ternyata rupawan dan menawan. Percaya atau tidak, saya hampir pingsan karena senang. Sampai-sampai, saya hampir terjungkal saat melihat wajahmu menyembul dari balik pintu rumahku.
Saya masih ingat benar hari itu, hari di mana kita pertama kali bertemu. Saat itu hari Minggu, tepat 1 hari sebelum Pemilu, dan kamu mengajakku kencan di WTC Mangga Dua. Meskipun kita tak bisa berlaku seperti sepasang kekasih di situ, tapi saya sangat senang bisa jalan bareng denganmu. Saya masih bisa merasakan rasa manis dari es kelapa yang kamu belikan untukku. Kita ngobrol berjam-jam di food court sambil menunggu temanmu. Kamu, pada saat itu, memang ingin bersetubuh denganku. Dan saya pun tak menolaknya.
Saya tahu, saya mungkin terdengar murahan dan gampangan pada saat itu, tapi ada sesuatu dalam dirimu yang sangat kusuka. Sejak pandangan pertama, saya sudah telanjur jatuh cinta padamu. Bagiku, kamu sangat ganteng, meskipun perutmu agak berlemak. Saya tetap suka, kok:) Kegantengan memang subjektif; tak semua orang akan berpikir hal yang sama tentang dirimu. Kamu juga sangat baik, perhatian, dan penuh cinta kasih. Kamu bahkan rela datang jauh-jauh dari Bekasi hanya untuk menemuiku dan menghabiskan waktu sampai malam bersamaku. Memang kamu tak bisa datang setiap hari, tapi saya cukup tersentuh dengan perhatianmu. Karena itu, saya bersedia menyerahkan tubuhku padamu. Dan saya tak menyesal telah melakukannya pada malam itu..
Saya berhenti membaca di bagian ini, ingatan tentang Aan muncul dalam benakku. Saat itu kami memang terpaksa menghabiskan berjam-jam di WTC menunggu kepulangan temannya. Berhubung rumahku ramai, jika kami ingin ML, kami terpaksa harus numpang di kamar kost temannya yang kebetulan tak jauh dari tempatku. Selama di mall itu, Aan dan saya membicarakan banyak hal. Saya amat terbuka padanya, kuceritakan semuanya tentang diriku, kisah cintaku, dan kehidupanku.
Sesekali, saya memujinya karenaa saya terpesona akan ketampanannya. Tapi dia tak pernah percaya akan pujianku, katanya saya gombal:) Andai dia bisa melihat isi hatiku, dia akan tahu betapa saya memujanya. Kebetulan kami mendapat tempat duduk yang agak terpencil sehingga kami bisa pegang-pegangan tangan. Namun hal itu malah membuat kami semakin terangsang. Batang kemaluan kami menegang, berdenyut, dan basah. Kami terpaksa harus sabar menunggu sampai malam, menanti temannya.
Akhirnya, di dalam kamar kost teman Aan, kami dapat bercinta. Kamar itu memang kecil tapi bersih. Aan dan saya sudah tak sabar lagi, kami saling meraba dan mencium. Dengan tak sabar, Aan dan saya segera melolosi pakaian kami. Rasanya senang sekali saat saya dapat bertelanjang bulat di depannya. Saya ingin Aan melihat seluruh tubuhku; saya tak malu sama sekali. Penisku berdenyut-denyut, minta dipuaskan. Kulirik celana dalam Aan yang dilempar ke lantai. Celana dalam abu-abu itu basah dengan noda precum.
Aan pasti sudah tak sabar ingin memasuki tubuhku. Kusapukan pandanganku ke depan, dan kulihat Aan beridiri di depanku tanpa busana. Badannya yang telanjang bulat terpampang jelas untuk konsumsi mataku. Setetes precum mengalir keluar dari lubang penisku, menebarkan kenikmatan. Mataku tak bosan memandang dadanya yang padat berisi. Pada dasarnya, Aan mempunyai bakat untuk berbadan kekar. Bentuk dada, bahu, dan punggungnya lebar dan kuat. Tapi karena tidak dilatih, sebagian sudah didiami oleh lemak.
Namun, Aan tetap terlihat seksi dan merangsang bagiku. Sepasang puting kecoklatan yang agak besar dan lebar menjaga dadanya. Dengan gemas, kuremas-remas dadanya. Aan hanya menutup matanya sambil mendesah pelan. Penisnya sendiri berdenyut-denyut dengan liar. Semakin keras remasanku, semakin keras pula desahannya. Kedua tangannya terulur dan lalu memeluk tubuh telanjangku. Kami pun saling berpelukkan. Kulit tubuhnya menyentuh kulit tubuhku, dan kehangatannya menyelimutiku. Saya terlena seketika itu juga, larut dalam pelukannya.
"Kamu seksi sekali, Endy sayang. Saya jadi ngaceng berat, nih. Masih mau kan ML ama saya?" tanyanya seraya mendaratkan ciuman di pipiku, pelukannya mengencang.
Tanpa sengaja, penisnya yang tegang beradu dengan penisku. Precum kami terpercik ke lantai.
"Ya, sayang. Saya mau ML ama kamu. Please fuck me," jawabku, penuh gairah.
Suaraku agak mendesah, jelas terdengar bahwa saya sangat membutuhkan seks. Nafsu memang telah mengambil alih otakku. Yang dapat kupikirkan pada saat itu hanyalah seks, seks, dan seks. Dan saya yakin dalam pikiran Aan juga hanya ada seks saja. Tapi seks yang kami berdua pikirkan bukanlah seks semalam karena nafsu belaka, melainkan seks yang berdasarkan atas hubungan cinta. Aan dan saya saling mencintai, meskipun arti cinta kami agak berbeda.
Saya mengharapkan cinta yang berkepanjangan. Sementara Aan lebih suka cinta sementara. Saya tak menyalahkannya sebab Aan punya alasannya sendiri. Bibir kami lalu saling bertautan, terkunci oleh asmara dan nafsu. Kami terus berciuman tanpa mempedulikan kehadiran teman Aan. Saat ciuman kami selesai, Aan-ku yang tampan lalu duduk di lantai, menyandar ke tembok. Tanpa disuruh, dengan patuh, saya merangkak ke arahnya dan mengulum batangnya. Saya suka dengan bentuk kemaluan Aan, pas di mulutku. Arahnya yang agak miring ke kanan malah membuatnya semakin unik dan merangsang. Kepalanya agak kemerahan, berkilat dengan precum. Kujilat-jjilat dengan penuh semangat. Sesekali kukocok-kocok batang kejantanannya untuk mengeraskannya. Kudengar erangan erotis meluncur dari bibirnya.
"Oohh.. Yyeeaahh.. Hisap terus.. Oohh.. Hisap terus, sayang.. Hhoosshh.."
Teman Aan juga gay, maka dia tak keberatan dengan adegan panas yang kami mainkan di depannya. Namun sebagai seorang pecinta pria, tentunya dia pun ingin ikut serta. Berjongkok di belakangku, temannya itu sibuk memerah kemaluanku, seakan-akan saya sapi. Tangannya yang agak besar dan kapalan itu memerah-merah batang kemaluanku. Eranganku tertahan di dalam mulutku yang tersumbat penis Aan.
"Mmpphh.. Mmpphh.." Rasanya nikmat sekali.
Sedotanku pun makin keras dan Aan hanya dapat merem-melek saja. Kakinya terasa menegang, menahan gejolak nikmat yang memancar dari batangnya. Precumnya yang asin membanjiri mulutku, kuhabiskan semua tanpa sisa. Precumku sendiri menetes membasahi lantai kamar, tetap diperas oleh teman Aan itu. Tapi tiba-tiba temannya itu melepaskan perasannya. Berdiri menghadap Aan, temannya itu menyodorkan penisnya.
Aan tak menolak dan langsung mengulumnya dengan penuh kenikmatan. Jujur, saat itu saya agak cemburu sedikit, tapi saya sadar bahwa semua itu hanyalah seks demi nafsu birahi semata, dan bukan demi cinta. Maka kualihkan perhatianku kembali pada penis Aan yang menuntut untuk dipuaskan.
SLURP! SLURP! Ah, enak sekali. Penis Aan bukanlah yang pertama yang kuhisap. Sudah ada beberapa penis lain yang sempat singgah ke dalam mulutku. Dari semuanya, rasa penis Aan paling enak, apalagi bila dicampur saus precum. Selama beberapa menit, kami saling menghisap penis, tenggelam dalam nafsu birahi homoseksual. Bunyi hisapan mulut kami bergema dan memenuhi telinga kami sehingga nafsu birahi kami pun semakin terbakar.
Bersambung...
0 komentar:
Posting Komentar