Pages

Senin, 28 Juni 2010

0 The Angels - 3

Cindy tampak pasrah saja, terdiam di jok itu sambil memejamkan mata menikmati nikmat dan gelinya aliran listrik yang mengalir lewat putik-putik di puncak buah dadanya. Sesekali ia mengerang, sesekali ia mendesah, sesekali juga ia mengaduh kecil ketika Neo dengan nakal menggigit kedua putik yang kini tengah mengencang dan berkilau oleh liur pria itu. Lidah dan bibir Neo terus membelai-belai kedua putik yang kini berwarna kemerahan itu, sementara Cindy sudah mulai menggelinjang-gelinjang gelisah. Wajah cantiknya tampak bersemu merah di pipi, matanya menyipit menahan nikmat, dan bibirnya sesekali ternganga lebar tanpa suara selain desah tertahan.

"Ahh.. Neoo.." erangan Cindy kembali terdengar, "Cepetan dongghh.."
Neo tidak menjawab. Ia hanya menyelipkan jarinya lewat jeans Cindy yang telah terbuka kancing dan resletingnya. Jemari itu menemukan sasarannya, tepat di tengah celana dalam merah jambu yang dikenakan Cindy, lalu segera menekan-nekan dan menggosok-gosok lembut. Membuat rintih erangan Cindy makin terdengar menyayat dan ujung jari Neo kini merasakan kain celana dalam itu seperti dibasahi oleh sesuatu. Baru saja jari Neo menyelip lewat samping celana dalam untuk kemudian menyusup masuk ke sebuah liang yang telah becek, sebuah mobil Van berwarna gelap menderitkan remnya tepat di depan Beamer merah itu.
"Ah, sial!" gerutu Neo karena kegiatannya terganggu.
Cindy segera bangkit dan mengancingkan celana jeansnya dengan terburu-buru.

"Kamu gagal kali ini?" aku mengejek Demon yang sedang bertengger santai di dahan pohon di atas kedua mobil itu.
"Hihihi.." Demon tertawa kecil, "Amarah pemuda itu, meski hanya sesaat, terasa begitu menggairahkan."
"Lebih menggairahkan dari nafsu dan gairah mereka berdua?" tanyaku ringan, sambil mengamati ke bawah.
"Tentu saja!" jawab Demon tegas, "Dalam dada pria itu ada sesuatu yang kubenci."
"Apa itu?" tanyaku singkat tanpa melihat ke arah wajah tampan Demon.
"Cinta!" jawab Demon sinis.
Ia lalu menghilang dari pandanganku. Meninggalkanku sendirian di atas dahan pohon ini, melihat ke bawah, dimana para manusia itu sedang menjalankan perannya masing-masing di panggung sandiwara mereka yang fana.

Sejenak kemudian, di sampingku terlihat sekelebat bayangan. Bayangan hitam yang berkelebat cepat untuk kemudian berhenti di dahan yang kuhinggapi, di antara bayangan itu, tampak sesuatu berkilau, yang ternyata sebuah sabit panjang. Sebentuk wajah mengerikan dan dingin tersenyum menyapaku.
"Hey, apa kabar?" tanya wajah itu dengan nada bersahabat.
"Death?" sapaku membalasnya, "Baik saja, thanks. Darimana kamu?"
"Dari pusat kota, barusan ada kerjaan di sana," ujar Death lagi, "Eh.. Maafkan aku tadi pagi marah-marah, aku hanya menjalankan tugas."
"Aku tahu." jawabku penuh pengertian, "Dan sekarang aku masih berhutang padamu."
"Yap!" jawab Death tegas, "Hutang tetaplah hutang, tapi jangan sampai persahabatan ini hancur gara-gara itu."
"Death.." aku tersenyum menatap sepasang lubang mata pada wajah tengkoraknya, "Lembut sekali perasaanmu."
"Eits! Jangan samakan aku dengan mereka yang di bawah situ!" ujarnya, "Kita kan lain!"
"Hahaha, kamu benar!" jawabku sambil menepuk punggungnya yang terselimuti jubah hitam kumalnya.
"Ok, Angel, aku turun dulu yah!" seru Death sambil jari-jari belulangnya mencolek daguku, "Ada tugas di bawah situ!"
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Ooh, Cindy sedang keluar dengan kakaknya, Ric." jawab ibu Cindy sambil membukakan gembok yang mengunci pintu pagar.
"Eh? Sudah berapa lama, tante?" tanya Eric yang wajahnya tampak tegang.
"Wah, udah lama tuh!" jawab si ibu, "Masuk dulu yuk? Ada yang ingin tante bicarakan sama kamu."
"Ehmm.." Eric tampak ragu-ragu, "Maaf tante, Eric lagi buru-buru, besok aja yah?"
"Oh, boleh." jawab ibu itu ikut tergugup, "Mampir aja ke sini lagi besok."
Eric mengangguk dan berpamitan pada ibu itu, sambil berpikir bahwa apakah akan ada kesempatan baginya besok untuk berkunjung ke rumah itu lagi?

Di trotoar jalan raya, Eric melangkahkan kaki dengan penuh keraguan. Matanya menunduk lesu ke bawah, menatap garis-garis trotoar bergerak mundur seiring langkahnya ke depan. Deru mobil dan motor yang lalu lalang di sampingnya seperti tidak terdengar, terik matahari yang sedikit condong ke barat pun tidak terasa membakar ubun-ubunnya. Ia hanya terdiam menghentikan langkahnya ketika sebuah mobil ambulans dengan sirene mengiang-ngiang kencang meluncur cepat di jalanan di sampingnya. Seperti yang ditakutkannya, ambulans itu berhenti tidak jauh dari situ, di depan sebuah gedung perkantoran dengan papan nama di atasnya bertuliskan Dreampatcher Inc.. Semula Eric hanya tercekat di tempatnya berdiri, namun ia segera tersadar dan mengambil tindakan cepat.

Tanpa mempedulikan dua mobil yang hampir menabraknya, ia berlari menyeberangi jalan menuju ke gedung perkantoran tempat ambulans tadi berhenti.
"Ada apa, pak?" tanya Eric pada seorang satpam di pintu masuk gedung perkantoran itu.
"Eric!" jawab Satpam itu agak tergopoh namun lega, "Anu.. ngg.. bapak udah ngga ada."
Jawaban itu seperti petir menyambar tubuh atletis Eric. Tanpa mempedulikan kerumunan orang ia menyerbu masuk ke dalam gedung. Ditabraknya beberapa orang yang menghalangi jalannya menuju ruang tangga darurat. Ia tahu kalau tidak mungkin menggunakan lift untuk mencapai lantai tiga dengan cepat. Nafasnya memburu ketika langkahnya terdengar menggema di ruang sempit tempat tangga putar itu berada. Dengan terengah-engah, ia tiba di tujuannya, lantai tiga.

Ia hanya bisa berdiri terpaku di ujung koridor. Menyaksikan sejumlah staf rumah sakit mendorong sebuah ranjang beroda dengan sesuatu di atasnya. Sesuatu yang diselimuti rapat oleh kain putih bergaris abu-abu yang agak ke ujungnya dinodai oleh secercah noda merah. Dilihatnya para petugas itu tidak tampak terlalu terburu-buru, pertanda tidak diperlukannya pertolongan pertama yang terlambat. Sejumlah orang berpakaian kerja melirik ke arahnya dengan pandangan penuh simpati. Seorang wanita muda dengan busana wanita karir tampak melangkah menghampirinya.
"Eric.." seru wanita muda itu dengan mata sembab seperti baru saja berhenti menangis.
"Mbak Sari.." ujar Eric menatap wajah wanita itu, "Aa.. ada apa? Sss.. siapa yang..?"
"Pak Wiro.." wanita itu agak ragu, "..bunuh diri."
"Bunuh diri?" tanya Eric setengah tidak percaya dengan mata berkaca-kaca, "Ngga mungkin!"

Wanita itu tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk lirih, "Aku yang menemukan dia dengan laras pistol tuanya dalam mulut.." tidak terdengar lagi kata-kata wanita itu karena kembali terisak.
Eric tidak lagi mempedulikan wanita itu, ia berlari menghambur masuk ke kamar kerja calon mertuanya, dimana ia menjumpai dua orang berambut cepak, berkumis tipis mengenakan kemeja putih sedang berdiri melihat-lihat sekeliling.
"Eh.. maaf." seru Eric terkejut karena tidak mengharapkan ada orang lain di situ.
"Anda putera Pak Wiro?" tanya salah satu pria rapih itu.
Eric mengangguk cepat setelah kedua pria itu menunjukkan lencana kepolisian dari dompet mereka.
"Maaf, dik." ujar salah satu pria itu lagi, "Apa adik bersedia ditanyai sebentar?"
"Tidak.." jawab Eric singkat, "Mungkin tidak sekarang, pak. Maaf."

Mengkahiri kalimatnya, Eric bergegas berlari keluar meninggalkan kamar kerja pribadi calon mertuanya itu. Di koridor ia bertemu dengan wanita yang tadi berbicara dengannya.
"Mbak Sari." ujar Eric terburu.
"Iya, Ric?"
"Aku pinjam handphonenya sebentar yah, sehari aja."
Melihat sikap terburu Eric, wanita itu menyerahkan T-28nya begitu saja, untuk kemudian memandang punggung Eric yang telah bergegas berlari menuju tangga darurat.

Dari atas sini semua terlihat jelas. Terlihat jelas sekali bagaimana dua orang pria berbadan kekar dengan dandanan rapih turun dari mobil Van hitam, bagaimana mereka menghampiri Cindy dan Neo yang keluar dari Beamer merah, dan terlihat juga dengan jelas kedua temanku. Demon dengan senyum dingin menatap agak jauh dari situ, mulutnya berkomat-kamit membisikkan sesuatu pada kedua pria kekar itu. Terlihat juga Death tampak sabar menunggu, dengan kedua tangan belulangnya menggenggam tangkai sabit panjangnya yang siap terayun. Terlihat salah satu dari pria kekar itu berbicara dengan Neo dan Cindy, sementara yang satu lagi mengendap-endap di belakang Neo, lalu memukulkan sebuah batu ke kepala Neo berkali-kali hingga pemuda itu tersungkur bersimbah darah ketika Death mengayunkan sabitnya. Tampak temanku itu kembali melayang ke atas menghampiriku sambil membopong jiwa Neo.

"Udah nih." seru Death menyapaku yang sedari tadi hanya diam menonton, "Gimana yang satu ini?"
"Yang itu ngga usah dilewatin kamarku, langsung aja suruh jalan terus!" jawabku tanpa banyak pertimbangan.
"Beres, Boss!" jawab Death menggoda, "Inget besok pagi, lho! Daag!"
Aku melambaikan tangan membalas lambaian Death, hm.. di balik tampilannya yang angker itu, ia sebenarnya berhati lembut dan paling loyal dengan tugasnya. Senang sekali bekerja sama dengannya sekian lama. Kembali aku menatap ke bawah, melihat bagaimana Cindy meronta-ronta menjerit-jerit ketika salah satu pria kekar itu memegangi tangannya, sementara yang satu lagi melucuti pakaiannya. Tampak tubuh mulus Cindy kini menjadi bulan-bulanan kedua pria itu.

Kulirik agak jauh, tampak Demon sedang meniup-niupkan hawa nafsu berlebihan ke arah dua pria itu. Lalu senyum dinginnya kembali muncul sambil melirik ke atas, ke arahku. Aku tersenyum membalas senyumannya, duh, sebenarnya ia begitu tampan dan kharismatis, pantas saja tidak ada yang mampu menahan godaannya. Kalau aku saja tidak mampu, apalagi manusia-manusia malang itu. Sebenarnya ingin sekali aku menonton kejadian lanjutannya, siapa tahu muncul kejadian yang bisa kujadikan bahan pertimbangan untuk memutuskan apakah Eric harus kembali naik ataukah tidak, kalau pun seandainya tidak, aku harus segera menyiapkan penggantinya untuk melunasi hutangku pada Death. Namun aku mendengar ketukan pintu di kamar kerja pribadiku jauh di atas sana, hmm.. mungkin jiwa yang barusan diambil Death dari pusat kota sudah sampai. Aku segera meninggalkan adegan menarik itu dan kembali ke kamar kerjaku untuk meladeni tamu baru.

"Halo, Eric?" terdengar suara wanita di T-28 dalam genggaman Eric.
"Iya, darimana ini?" tanya Eric seraya menghentikan laju Cielo biru yang ditungganginya.
"Ini Sari." jawab suara di ujung sana, "Aku sekarang di rumah sakit kota."
"Oh.." Eric sedikit ragu, "Mbak Sari tolong urus Papa deh, aku nyusul sebentar lagi."
"Bukan Papa, Ric!" seru suara di ujung sana lagi, "Aku ngeliat pacar kamu masuk UGD!"
"Hah? Cindy?" jawab Eric, bertanya setengah membentak.
"Mendingan kamu cepat ke sini deh, Ric." jawab suara itu lagi, "Kayaknya gawat nih."
Dengan suara berderit kencang, Cielo biru itu memutar berbalik arah, lalu segera melesat pergi menuju rumah sakit kota.

Berbagai perasaan bercampur baur di kepala Eric, membuatnya semakin bingung. Mbak Sari, asisten pribadi calon mertuanya adalah orang yang teliti dan dapat dipercaya, jadi tidak mungkin ia keliru atau berbohong. Lagipula untuk apa ia berbohong dalam kondisi seperti ini. Secercah dendam mulai membara dalam pikirannya. Terlintas di wajahnya orang yang paling dibencinya selama ini, kakak kekasihnya. Sejak awal kencannya dengan Cindy, Eric sudah sangat membenci Neo. Pria genit itu selalu saja memanfaatkan posisi ayahnya untuk kepentingan yang tidak baik. Seringkali pula Neo menghabiskan separuh pendapatan perusahaan di meja judi. Untung saja kekayaan sang ayah masih sanggup menutupi semua pengeluaran sia-sia itu.

Pikiran Eric melayang pada saat dimana si calon mertua bermaksud menuliskan namanya pada pewaris tunggal Dreampatcher Inc., perusahaan besar itu, yang segera ditolaknya karena merasa tidak mampu. Teringat pula bagaimana Cindy, tunangannya, memohon-mohon agar Eric menerima tawaran itu.
"Eric, mau hidup seperti apa kalau kita udah berkeluarga nanti?" tanya Cindy waktu itu.
"Kita masih bisa hidup kok, yang." jawab Eric, "Lagian aku lebih senang mencari jalanku sendiri daripada dapat warisan."
"Lantas siapa yang melanjutkan usaha papa?" tanya Cindy lagi.
"Kan ada Neo, Cyn." jawab Eric waktu itu.

"Uhh.." dendam Eric kembali membara.
Bukankah Pak Hadi sudah mewariskan perusahaannya pada Neo, untuk apa ia harus tega berusaha menyingkirkan adiknya sendiri? Apakah menyuruh orang untuk menghabisi ayah kandung masih belum cukup tercela untuk dilakukan? Pikiran Eric teraduk-aduk oleh dendam dan benci pada orang yang akan menjadi kakak iparnya itu. Dalam pikirannya, pasti Neo sumber segala petaka yang menimpa Pak Hadi dan Cindy. Pasti Neo yang mendalangi kematian Pak Hadi agar ia segera dapat mendapatkan perusahaan itu untuk menutup hutangnya di meja judi, pasti Neo juga yang berusaha menyingkirkan Cindy agar ia dapat menguasai seluruh kekayaan sang ayah sendirian.

Sejenak terlintas di ingatan Eric, "Apakah kira-kira Neo juga yang telah menghabisinya tadi malam, sampai akhirnya ia tertolong oleh kebaikan hati si penjaga gerbang akhirat. Apakah malam itu juga Neo telah mencoba menghabisi Cindy hingga sekarang harus berada di UGD? Ah.. tapi bukankah tadi Bu Hadi bersikap bahwa Cindy baik-baik saja, dan mengatakan bahwa Cindy sedang pergi dengan kakaknya? Berarti Cindy tidak lecet sedikit pun saat pembunuh-pembunuh itu menyerang kami." pikir Eric.
"Bagaimana bisa Cindy baru masuk rumah sakit siang ini? Ah, tentu Neo telah memerintahkan begundal-begundalnya untuk menghabisi Cindy ketika ia mengajak Cindy pergi!" tuduh Eric dalam hatinya yang telah dipenuhi dendam.

Aku sudah kembali dari tugasku di kamar kerja. Kini aku berdiri bersandar di dinding koridor rumah sakit, mengamati situasi sambil menunggu Eric tiba. Tampak di depanku seorang wanita muda sedang menenangkan seorang wanita tua yang menangis sejadi-jadinya. Hm..tentu istri pria yang barusaja menjadi tamuku, seorang pengusaha sukses yang menceritakan padaku bagaimana ia membangun imperium bisnisnya puluhan tahun untuk kemudian harus mewariskannya pada anak laki-laki yang menurutnya tidak becus dalam bisnis. Bahkan menurut pengusaha itu, anaknyalah yang menyuruh orang untuk menghabisi dirinya, lalu membuat setting seolah-olah ia tewas bunuh diri. Ah, urusan manusia memang seperti itu terus dari waktu ke waktu. Tidak banyak dari mereka yang menyadari bahwa semua itu fana dan tidak bisa menjadi bekal bagi kehidupan abadi mereka kelak. Sambil menunggu kedatangan Eric, aku menatap kedua wanita di hadapanku, yang sama-sama berlinangan air mata. Mengherankan, betapa mereka yang sebenarnya tidak terpengaruh oleh perginya seorang pria harus rela membuang waktu begitu banyak untuk meneteskan air mata.

"Bukankah semua orang juga harus mengalami kematian?" pikirku, "Ah.. logika manusia mana mungkin memiliki visi demikian jauh sampai ke kehidupan abadi nanti? Ah, ini dia Eric datang."
Tampak Eric memeluk wanita tua yang menangis tadi, berusaha menenangkan. Setelah ibu itu tenang, Eric berbicara sebentar dengan wanita yang muda, lalu bergegas melangkah ke bagian lain rumah sakit. Dengan langkah ringan aku mengikuti kemana ia pergi.
Beberapa pasang mata seperti menatapku dengan penuh keheranan, "Hm.. apakah kira-kira mereka bisa merasa kalau aku lain dengan mereka? Hihihi, paling-paling mereka hanya terkesima menatap kesempurnaan bentuk fisik yang kupakai ini. Dasar manusia!"

Bersambung . . . .

0 komentar:

Posting Komentar