Pages

Senin, 28 Juni 2010

0 The Angels - 4

Hm, rupanya para dokter tidak mengijinkan Eric masuk ke ruang perawatan intensif untuk menjumpai kekasihnya. Ah, apakah Eric terlambat menyelamatkan kekasihnya itu? Bagaimana pula jika ia tahu bahwa kekasih yang dicintainya itu ternyata main gila dengan kakaknya sendiri?

"Hah? Neo juga.." tanya Eric setengah membentak pada petugas rumah sakit.
"Ya, pak." jawab petugas itu, "Putera sulung Pak Hadi ditemukan tewas terbunuh di pinggir kota bersama adiknya ini."
"Gila.." Eric lalu meninggalkan petugas itu.
Pemuda atletis itu lalu menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang di ruang tunggu. Sengaja agak memisahkan diri dari calon ibu mertuanya yang masih menangis histeris karena baru saja kehilangan suami dan anak sekaligus dengan cara yang mengenaskan, sementara anak bungsunya harus terkapar di unit perawatan intensif karena menjadi korban perkosaan brutal. Wanita muda asisten Pak Hadi dengan sabar berusaha menenangkan ibu yang malang itu, meski usahanya agak jauh dari keberhasilan.

Seorang wanita berambut pendek duduk di samping Eric yang menyandarkan kepala di dinding sambil menutup mata karena stress dan bingung. Wanita berjaket kelabu itu hanya duduk tanpa berkata apa-apa, diam menatap Eric, sampai akhirnya Eric membuka mata dan agak terkejut melihatnya.
"Kamu rupanya." kata Eric dengan nada tanpa semangat.
"Ya." jawabku, "Bagaimana kamu ingin kelanjutannya terjadi?"
Eric terdiam seribu bahasa sambil terus memejamkan mata dan menunduk ke lantai. Ingin aku membelai rambutnya untuk menenangkan, namun kuurungkan niatku.
"Sepertinya.. memang seharusnya semalam itu waktu saya." Gumam Eric tanpa melihat kepadaku.
"Mungkin juga iya, mungkin juga tidak." jawabku diplomatis sekaligus ingin menenangkannya.
"Kamu kan masih punya harapan lain dalam hidup, Ric." lanjutku memberi semangat.
"Setelah apa yang terjadi ini.. saya bisa apa?" bantah Eric putus asa.

Aku tidak ingin berdebat dengannya, jadi aku diam saja mengamati ruangan. Sampai di ujung koridor ruang tunggu rumah sakit ini, tampak seorang pria kurus berpakaian hitam-hitam melangkah masuk.
"Dd.. dia.." pekik Eric tiba-tiba sambil tergagap, rupanya ia juga melihat pria kurus itu melangkah masuk.
"Tolong, mbak.." Eric memohon sambil memegangi lenganku, "Bilang padanya agar tidak mengambil Cindy.., tolong."
"Aku tidak bisa mencegah dia menjalankan tugasnya, Ric." jawabku.
"Tolong, mbak.. kalau ia mengambil nyawa Cindy.. untuk apa saya kembali kemari? Please, mbak.." Eric terus memohon.
"Itu bukan hakku, Ric." jawabku lagi, "Kalau toh bisa, aku harus menunggu Cindy masuk ke kamar pribadiku dulu untuk menceritakan semuanya, baru aku mengambil keputusan buatnya."

Death yang terkemas dalam samaran pria kurus itu berhenti di hadapan kami. Wajahnya yang pucat tampak dingin tanpa ekpresi. Sejenak ia menatap ke arahku, lalu mengalihkan pandangan ke Eric, yang langsung memohon padanya.
"Pak.. tolong jangan ambil Cindy.." Eric memohon, "Tolonglah bapak.."
Aku bangkit berdiri karena tidak tega. Bukannya aku tidak tega melihat Eric yang memohon dengan begitu memelas. Aku hanya tidak tega melihat Death harus mengambil keputusan untuk tetap menjalankan tugas meski kadang perasaannya teriris oleh tangisan, atau permohonan seperti yang dilakukan Eric saat ini.

Aku berjalan-jalan mengitari ruang tunggu rumah sakit itu, sampai akhirnya sebuah hawa aneh terasa memancar dari pintu masuk. Hawa yang dingin, jahat, dan mencekam. Orang-orang lain yang menanti di ruangan itu juga dapat merasakannya, mereka menengok ke arah pintu. Dimana di situ berdiri seorang pria muda jangkung berambut lurus panjang sebahu yang berwajah amat tampan dengan sepasang alis tebal dan mata tajam yang menyorotkan kesan dingin namun mempesona.
"Demon!" pikirku dalam hati, "Untuk apa ia memperlihatkan diri?"

Demon melangkah masuk ke ruang tunggu. Hak Sepatu lars-nya yang hitam berkilat menimbulkan suara ritmik yang agak menggema di ruangan yang tiba-tiba sepi tanpa suara itu. Semua pengunjung menatapnya lekat penuh keheranan dan kegelisahan. Sempat ia tiba-tiba menengokkan kepala menatap salah satu perawat wanita yang langsung menunduk tersipu, namun ia terus melangkah mendekat ke tempat duduk kami.
"Apa kamu sudah siap?" tanyanya setengah berbisik pada Death yang masih berdiri di tempatnya karena lututnya dipeluk oleh Eric yang memohon-mohon.
Death mengangguk dan melepaskan dekapan Eric pada kakinya. Eric hanya diam menatap kedua sosok pria misterius di hadapannya. Aku memegang tangan Eric untuk menenangkannya. Kedua temanku itu beranjak pergi menuju ke ruang perawatan intensif. Dengan rasa ingin tahu yang besar aku mengikuti keduanya.

Pintu ruang perawatan intensif yang tertutup rapat tidak terlalu dihiraukan oleh Demon. Ia melangkah masuk diikuti oleh Death dan aku di belakangnya. Sejumlah dokter dan perawat yang sedang mengurus Cindy tampak terkejut menyaksikan kedatangan kami bertiga. Demon membisikkan sesuatu. Dengan segera para perawat dan dokter itu berpelukan dan tanpa malu-malu segera saling menjamah tubuh satu sama lain dengan penuh birahi. Aku menutup pintu ruangan agar ulah para dokter dan perawat itu tidak terlihat memalukan dari luar. Kini suasana dalam ruangan itu terasa sunyi dan mencekam diiringi rintih erangan para perawat yang sedang bercinta dengan para dokter di sudut-sudut. Demon tidak mempedulikan keadaan yang sebenarnya tampak begitu menggairahkan sekaligus menjijikkan bagi banyak orang, ia menatap tubuh Cindy yang tergolek tidak bergerak di ranjang perawatan.

"Bangunlah!" bisik Demon sambil menjentikkan jarinya di dekat Cindy.
Dalam sekejap tubuh Cindy yang tadi tampak tidak sehat dan dipenuhi luka lebam tampak kembali normal seperti aslinya, kedua mata bulat gadis itu berkedip-kedip.
"Oh.. anda datang yang mulia.." seru Cindy dengan suara agak lemah pada Demon.
"Aku datang untuk menagih janjimu." jawab Demon dengan nada tegas.
Aku dan Death hanya berdiri diam menyaksikan percakapan mereka.
"Eh.." Cindy tampak bingung, "Apa.. masih kurang?"
"Ya," tukas Demon dingin, "Lihat ke sana."
Sambil tetap menatap pada Cindy, Demon menunjuk ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka, tampak Eric yang rupanya sedang mendengarkan apa yang terjadi dalam ruang perawatan ini.

"Hah?" Cindy tampak terperanjat, "Ee.. Eric..kamu masih hidup?"
Eric yang tidak kalah terkejutnya menghambur masuk dan berusaha memeluk Cindy.
"Cindy.. kamu baik-baik?" ujar Eric dengan nada penuh kasih sayang.
Tampak wajah Demon mengerenyit karena nada yang penuh kasih sayang itu membuatnya jengkel. Cindy menjauh menolak pelukan Eric lalu berbalik menghadap Demon.
"Tidak mungkin, yang mulia!" sergah Cindy dengan nada marah pada Demon, "Saya sendiri yang telah menghabisi dia!"
Mendadak air muka Eric yang tadinya tampak bahagia itu berubah. Mulutnya bergerak-gerak seperti menyebutkan nama Cindy, namun tidak ada suara yang keluar dari situ. Aku melirik ke arah Death yang diam mengangkat bahu.
"Hahaha..!" terdengar tawa dingin Demon, ia mengalihkan pandangan pada Eric yang tampak keheranan sekaligus kecewa itu.
"Eric?" tanya Demon pada pemuda itu, "Masihkah perasaan cinta di hatimu itu perlu ada?"
"Tidak adil!" seru Cindy memotong kalimat Demon, "Saya sudah mengorbankan banyak hal untuk ini semua!"

Suasana di ruang perawatan itu terasa hening dan tegang. Rintih erangan para perawat dan dokter yang asyik masyuk bercinta di sudut-sudut tidak mampu mencairkan bekunya suasana. Suasana hati Eric yang kini dipenuhi keraguan terasa sampai ke seluruh ruangan. Tatapan dingin Demon tampak tajam mengarah pada Eric, namun ia tidak membisikkan apa-apa, ia tidak berusaha mempengaruhi Eric dengan bisikan iblisnya, membiarkan pemuda itu berpikir sesuai kodratnya sebagai manusia. Death tampak bersiap-siap dengan sabit panjang yang tiba-tiba sudah berada dalam gengamannya. Kebencian juga tampak begitu membara di wajah Cindy.
"Aku sudah kehilangan kakak, ayah, dan tunanganku!" seru Cindy emosional, "Juga merelakan tubuhku disakiti begundal-begundal itu! Apakah itu masih kurang?" ia terus berteriak-teriak menuntut keadilan dari Demon.
"Hahaha!" Demon tertawa renyah, "Seharusnya kamu memilih orang yang lebih tepat untuk memohon, manis!"
Demon menengadahkan kepalanya cepat untuk menyibakkan rambut yang menutupi wajah tampannya, lalu berjalan mendekati Eric yang terpaku di tempatnya berdiri, lalu kembali mengalihkan pandangan pada Cindy di sisi lain ruangan, yang masih berdiri di samping ranjang dengan tanpa selembar benang menutupi tubuh segarnya.

"Cindy.." ujar Demon datar, "Tiga nyawa orang yang kamu cintai, dan sedikit rasa sakit! Itulah pertukaran yang kujanjikan untuk seluruh kekayaan ayahmu kan?"
Mendengar kata-kata itu kami bereaksi berbeda-beda. Aku menarik nafas dalam dan menggelengkan kepala menyadari sifat tamak yang sudah menjadi kodrat manusia itu, Death tampak melirik ke arah Cindy, dan Eric menatap ke arah Cindy dengan perasaan tidak percaya. Namun di sudut mata itu aku masih merasakan adanya cinta, sesuatu yang amat dibenci Demon.
"Temanku, si penjaga gerbang, telah membebaskan Eric kembali ke kehidupannya," terdengar penjelasan Demon sambil melirik ke arahku, "Berarti masih kurang satu nyawa lagi."
"Bukankah dia si malaikat pencabut nyawa?" seru Cindy menuding ke arah Death yang telah tampil dalam bentuk aslinya, kerangka manusia berjubah hitam pekat dengan sabit panjang di tangan, "Tunggu apa lagi! Cepat lakukan tugasmu!"

Semua terdiam mengamati kelakuan Cindy yang histeris dan dipenuhi ketamakan itu, mata bulat yang sebenarnya amat cantik itu tampak menyorotkan dendam, kebencian, sekaligus ketamakan yang rakus. Tampak Demon membisikkan sesuatu pada Eric, yang membuat pemuda itu meraih sebuah pisau operasi, dan melangkah mendekat pada Cindy yang tampak melangkah mundur ketakutan.
"Cindy.." ujar Eric sambil wajahnya menunduk, "Aku mencintai kamu."
Mengakhiri kalimatnya itu, Eric menghunjamkan pisau operasi itu ke jantungnya sendiri. Aku tidak sempat bereaksi karena Death sudah keburu mengayunkan sabit panjangnya ke leher Eric, memisahkan raga dengan jiwanya.
"Angel, hutangmu lunas." ujar Death melihat ke arahku sambil membopong jiwa Eric, "Ia akan tiba di ruanganmu nanti malam."
Aku mengangguk kecil, menyaksikan Death berkelebat meninggalkan ruangan.

"Bb.. berarti.. semuanya sudah beres?" tanya Cindy meyakinkan diri.
"Hihihi.. sama sekali tidak." ujar Demon sambil memeluk tubuhku dari belakang.
Tubuh kami berdua menghadap ke arah Cindy hingga aku dapat melihat sorot mata kebingungan di wajahnya.
"Hah?" jawab Cindy kaget.
"Tiga nyawa orang yang kucintai dan penghinaan pada kehormatanku? Itu kan yang menjadi perjanjian?"
"Hihihi.." Demon terus tertawa kecil sambil tangannya mulai meraba-raba tubuhku dari balik jas panjang kelabu yang kukenakan.
"Kamu tidak akan memperoleh apa-apa selain dinginnya jeruji penjara seumur hidupmu." ujar Demon lagi, "Atas tuduhan pembunuhan berencana pada ayahmu sendiri."
"Kau curang!" Cindy menuding ke wajah Demon, yang dulu disembahnya.
"Bukankah kamu tidak menepati janjimu?" jawab Demon yang kini sentuhan hangatnya mulai membuatku sedikit merinding, "Pada saat menyuruh para preman untuk menghabisi kakak dan ayahmu, juga pada saat mengayunkan pipa besi ke kepala Eric, apakah kamu masih mencintai mereka?""Eh.. curang!" seru Cindy seperti histeris kesetanan, "Curang! Curangg!!"

Aku dan Demon menghilang dari pandangan. Kembali ke dimensi dimana aku melihat Demon dengan wujud aslinya, yang bertanduk dan bertaring mengkilat. Kubiarkan si tampan ini memuaskan hasratnya pada tubuhku. Kenikmatan demi kenikmatan dialirkannya ke tubuhku yang telanjang dan kupasrahkan padanya. Kubiarkan kenikmatan membawaku melayang-layang hingga akhirnya semua kembali normal.

Aku sudah berada di ruang kerja pribadiku, dengan tubuh terbalut kain abu-abu tipis yang menampakkan liku-liku indahnya. Kamar kerjaku kali ini kedatangan dua tamu istimewa, kedua temanku Death dan Demon. Keduanya sedang tidak bertugas, karena bumi memasuki bulan suci yang membiarkan manusia bertindak menurut instingnya sendiri, tanpa pengaruh dari iblis, dan kematian pun akan terjadi secara alami, hingga Death tinggal mengusung jiwa-jiwa yang melayang tanpa harus memisahkannya dengan raga. Demon tampak dengan gagahnya berdiri tegak di depan cermin, mengusap tanduknya yang berkilauan, dadanya yang berotot dan berambut tebal membusung tegap. Death duduk di kursi malas di tengah ruangan, jemari belulangnya memainkan tangkai sabit panjang tercintanya.

"Demon.." ujar Death memecah kesunyian, "Sebenarnya apa sih perjanjianmu dengan wanita itu?""Yah.." Demon berkata datar, tanpa menunjukkan pesonanya, "Seperti yang kamu dengar tadi, tiga nyawa orang yang dicintainya, dan penghinaan pada kehormatannya, ditukar dengan seluruh kekayaan orang tuanya."
"Bukankah itu tidak mungkin?" bantahku, "Bagaimana ia bisa menghilangkan nyawa orang yang dicintainya dengan sengaja?"
"Hihihi.. lugu sekali kamu bidadari manis!" ujar Demon geli, "Itu mungkin saja terjadi kalau ia membiarkan Death mengambil nyawa ibu dan ayahnya tanpa harus diatur sendiri olehnya."
"Yah, kamu curang dong?" ujar Death sambil berbaring-baring malas, "Kamu memasukkan hawa membunuh ke jiwanya kan?"
"Enak aja!" seru Demon tidak terima, "Meski iblis, aku memegang janji. Hawa membunuh itu bukan berasal dari aku, tapi berasal dari dalam hatinya sendiri. Yang tidak sabar menunggu kita bekerja sama untuk mencabut nyawa orang-orang yang dicintainya."

"Yah.." aku menghela nafas, "Berarti Demon tidak terlalu sering menyutradarai berbagai kejadian di sana. Itu muncul dari hati manusia sendiri."
"Kamu benar." ujar Demon sambil mendorong Death agak ke samping agar ia bisa ikut duduk di kursi malas panjang itu, "Kadang-kadang aku bingung, untuk apa orang seperti Cindy mengadakan perjanjian denganku. Kalau mereka bisa melakukannya sendiri dengan versi yang lebih jahat."
Kami semua terdiam, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik lain, bercanda-canda menikmati liburan selama sebulan ini, sambil sesekali menghangatkan tubuh satu sama lain. Ah, lega rasanya mendapatkan libur sebentar, setelah lama dibingungkan dengan urusan-urusan manusia yang kompleks. Dalam hati aku makin mengagumi Dia yang menciptakan ini semua.

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar